Oleh: Guruh Ramdani
Jika ada kisah hidup pelukis yang paling dramatis, mungkin kisah Vincent Van Gogh menempati urutan ranking teratas. Cerita tentangnya adalah cerita tentang penderitaan, emosi yang meluap-luap dan kegagalan-kegagalan dalam hidup. Setelah beberapa kali gagal (dalam bercinta, sebagai salesman pada Galeri Seni Goupil, dan sebagai penyebar agama) akhirnya dalam usia 27 tahun (1880) Van Gogh memutuskan untuk hidup sebagai pelukis. Dengan bersemangat ia menyatakan bahwa bagaimanapun juga ia harus bangun kembali, memungut lagi pensilnya yang sudah lama ditinggalkannya. Di kemudian hari walaupun kenyataannya (setelah meninggal) ia sangat berhasil sebagai pelukis tapi yang dirasakannya adalah kegagalan jua.
Van Gogh dikenal sebagai pelopor aliran lukisan ekspresionisme, walau pun lukisan El Greco (misalnya) juga adalah ekspresif. Kalau Seurat dengan “La Grande Jatte”-nya sangat teoritis sekali, maka Van Gogh terkenal dengan emosinya, gejolak jiwanya yang meluap-luap, yang dapat dilihat dalam karya-karyanya. Van Gogh pun dikategorikan ke dalam kelompok kaum Pasca Impresionis. Karena melukis menggunakan objek langsung di alam atau melukis on the spot. Tapi walaupun dia mengikuti jejak kaum Impresionis dalam cara-cara melukis; namun “cara pandang dia terhadap objek” sangat berbeda dengan kaum impresionis yang sangat “objektif melihatnya sebagai fenomena cahaya”. Bagi Van Gogh “objek adalah alasan untuk menuangkan emosinya”. Ibaratnya jika kita sedang marah (emosi), lalu kita membanting gelas atau benda apa pun yang berada di sekitar kita untuk mengekspresikan emosi tersebut. Nah kanvas (lukisan) tersebut sama dengan gelas atau benda-benda tersebut di atas, sebagai medium untuk mengekspresikan curahan hati kita. Atau bisa dikatakan, cara pandang Van Gogh terhadap alam sangat subjektif sekali sifatnya. Karena yang menonjol adalah (ekspresi) diri-nya. Maka hal tersebutlah yang menjadikan Van Gogh seorang ekspresionis sejati.
Lukisan lukisan awalnya selagi masih di Belanda banyak bertemakan penderitaan dan kemelaratan yang dilukiskannya dengan warna-warna gelap dan monokromatik. Citarasanya lebih terarah kepada kemanusiaan daripada nilai-nilai estetikanya (Hal yang demikian di kemudian hari sangat berpengaruh besar terhadap pilihan tema dan gaya pelopor lukisan ekspresionis tanah air: Affandi. Di mana Affandi sering disalah fahami atau sering dianggap sebagai pelukis abstrak, yang justru lukisan abstrak itu sangat objektif dan rasional). Karyanya yang paling menonjol pada periode ini ialah “Pemakan Kentang” (De Aardappeleters, 1885) yang dilukisnya selagi di Nuenen. Dengan menggunakan warna-warna hijau kecoklatan. Dalam lukisan ini ia ingin sekali menampilkan suasana kehidupan petani yang miskin, dengan baju bajunya yang kumuh, dengan interior, kelengkapan makan, dan lain lain yang serba seadanya dan ditingkah pula dengan kesan bau apek serta asap kentang rebus. Goresan kuasnya dibuat sekenanya. Karena menurutnya, “… tidaklah pada tempatnya melukiskan petani miskin dengan kehalusan sapuan yang konvensional itu.”
Kedatangannya di Paris pada tahun 1886 dan pertemuannya dengan Pissarro dan kaum impresionis lainnya, ternyata membawa perubahan besar. Seperti yang juga dinasihatkan kepada Cezanne, Pissaro menyarankan kepada Van Gogh untuk meninggalkan warna-warna yang gelap itu dan menggantinya dengan palet yang lebih cemerlang sebagaimana yang selalu digunakan kaum impresionis itu. Tetapi setelah itu, hasilnya tidak hanya merupakan sekedar warna yang lebih cemerlang atau perubahan teknis saja, melainkan juga menyangkut perubahan visinya terhadap objek, serta cara cara penggarapan bentuknya yang tidak dimiliki kaum Impresionis.
Dari goresan impresionistik dan titik-titiknya Seurat, Van Gogh mengembangkan teknik melukis dengan goresan pendek menggunakan warna-warna cemerlang yang pada perkembangan terakhirnya, goresan tersebut membentuk gelombang yang melengkung-lengkung serta melilit-lilit penuh irama, sampai pada rincian yang kecil-kecil. Terutama pada karya-karya akhirnya, terlihat bahwa segala sesuatu dalam lukisan itu luluh dalam irama ini, ditarik-tarik dan dibengkok-bengkokkan, dihanyutkan dalam gerak pusaran yang menawan. Periksalah lukisannya yang berjudul “Malam Penuh Bintang (1889).
Yang menjadikan Van Gogh pelukis yang unik adalah kemampuannya menampilkan dalam karyanya “pernyataan objek yang paling hakiki bersama dengan pernyataan perasaannya”. Dalam lukisan lukisannya itu ia menyuguhkan kepada kita keindahan dan kekuatan objeknya, namun bersamaan dengan itu ia juga mengemukakan kegairahan dan perasaan hatinya; perasaan kesepian, kebutuhan akan kasih sayang, serta jiwanya yang meronta ronta, perlu saluran komunikasi. Ia adalah seorang ekspresionis sejati walau pun tidak pernah memproklamasikannya. Dalam lukisan realistik biasanya pelukis terbawa untuk memperhatikan rincian yang remeh temeh dan memasukkannya dalam lukisan; dalam lukisan yang romantik kita dibawa oleh pelukisnya pergi jauh jauh dari dunia kita sehari-hari atau masuk ke dunia cerita dongeng, sedangkan dalam karya Van Gogh, realitas dan emosi itu dipersatukan. Objek-objeknya adalah objek alamiah dan batiniah sekaligus.
Masa yang paling produktif dalam hidup Vincent Van Gogh adalah dua tahun terakhir di Arles dan di Sanatorium Saint-Remy, walaupun satu tahun di antaranya harus dijalaninya dalam rumah peristirahatan itu karena jiwanya yang labil.
Selain “Pemakan Kentang”, dan “Malam Penuh Bintang”, beberapa karya lainnya adalah “Le Pere Tanguy” (1887) dan beberapa lukisan “Moulin de La Gallete” yang dilukisnya di Paris, “Le Pont de l’Anglois” (Jembatan Kerek, 1888), dan beberapa lukisan Bunga Matahari (1888) dari periode Arles, dan selagi di Saint-Remy karya-karya unggulannya adalah “Pemandangan dengan Pohon Jaitun” (1889) dan “Jalan dengan Pohon Cemara” (1890). Di Auvers ia meninggalkan “Gereja di Auvers” (1890), dan “Dr. paul Gachet” (1890) yang merupakan konsepsi barunya dalam seni lukis potret, dan terakhir karya-karya Ladang Gandum-nya dengan “Burung-burung Gagak di atas ladang Gandum” sebagai salah satu di antaranya yang paling menonjol.
Di Paris, karena pergaulannya dengan pelukis-pelukis Impresionis, Vincent Van Gogh memang mempercerah warna lukisannya, tetapi warna-warna itu lebih intens lagi mengekspresikan emosinya setelah ia berada di Prancis Selatan yang mataharinya lebih cerah dan lebih panas. Digunakannya warna-warna tadi dengan serta-merta, tanpa harus menyesuaikannya dengan adanya di alam, agar (ia) lebih tegas mengekspresikan dirinya.
Berbicara tentang Vincent Van Gogh Tentu tidak bisa dilepaskan dari sponsor utamanya yang setia selalu menunjang kegiatan melukisnya yang penuh kesabaran dan kasih sayang, yaitu adiknya sendiri Theo Van Gogh. Vincent Van Gogh tidak akan sempat berekspresi setingi itu tanpa Theo yang selalu menunjang hidupnya sehari-hari, menyediakan material baginya, mendorongnya, dan menjadi tumpuan kalbunya. Dalam masa hidupnya, lukisan-lukisan Van Gogh yang (gagasannya jauh) melewati zamannya itu belum dimengerti orang, baik oleh orang awam, maupun oleh sesama seniman, maupun sebagian besar para kritisi. Maka bisa dimengerti kalau sangat minim apresiasi, atau belum ada yang membelinya. Satu satunya lukisan yang terjual semasa ia masih hidup adalah lukisan “Kebun Anggur Merah” dengan harga 400 frank (atau kurang lebih US $ 80), suatu jumlah yang tidak berarti walau pun untuk ukuran waktu itu. Tetapi lukisan lukisan yang dulu tidak laku itu, kini sering diperebutkan dengan harga jutaan dolar. Salah satu dari tujuh buah lukisan Bunga Matahari-nya terjual US $ 39,9 juta pada bulan april 1987 (senilai 66 milyar pada tahun tersebut), dan sebelum tahun yang sama berakhir, sebuah lukisan lagi terjual dengan harga US $ 53,9 juta, yang merupakan rekor harga lukisan. Oleh karena itu, sekalipun Van Gogh tidak sempat menikmatinya, adiknya, Theo tertolong karena semua pengeluarannya sudah tertutup, plus sekian persen keuntungan.
Disarikan dari buku, "Sejarah perkembangan Seni Rupa Modern," karya Prof. Soedarso SP.
Respon Cepat