Assiry gombal mukiyo, 2013
Mabrur
itu pelengkap penderita. Kata dasarnya adalah birr (kebaikan). Artinya, mabrur
adalah orang yang diberi kebaikan tertentu. Ada empat jenis kebaikan lagi, yaitu, khoir, ma’ruf,
ihsan, dan sholeh.Semuanya berarti kebaikan, tetapi dalam konteks yang berbeda-beda.Khoir adalah kebaikan yang bersifat anjuran
dan universal. Yang dilakukan orang dalam hal khoir adalah menganjurkan orang lain melaksankan
khoir. Ma’ruf adalah kebaikan yang sudah menjadi aturan, sehingga diwujudkan,
dibakukan, dan ditegaskan dalam bentuk peraturan, regulasi, undang-undang, dan
lain-lain.Maka ma’ruf itu diperintahkan, bukan dianjurkan.Ihsan adalah kebaikan
yang dikerjakan, meskipun sebenarnya tidak wajib.
Sementara itu, sholeh adalah kebaikan yang sudah
jadi atau terbukti terterapkan dengan baik. Sholeh adalah kebaikan yang sangat
minimal kontraproduktifnya, karena sudah diperhitungan berbagai sisi dan
keterkaitannya dengan faktor-faktor atau konteks-konteks lain. “Naik haji bisa
tidak sholeh, kalau dilakukan tiap tahun.
Birr itu itu bersifat mandiri. Banggalah Anda bisa
memenuhi panggilan ke Baitullah.Orang yang mendapatkan birr itu dimandirikan
oleh Allah. Birr itu kebaikan yang sangat khusus. Naik haji mendapatkan puncak
pengalaman intelektual, emosional, dan spiritual. Di sana, jangan masuk masjid
tanpa membuka dan membaca Al-Quran.
Seberapa banyak orang yang berhaji tapi hajinya
tidak diterima. Ada pula orang yang tidak jadi berhaji tapi ia dinyatakan
sebagai haji mabrur. Memahami esensi haji mabrur dari kisah-kisah yang hadir di
sekelilng kita, namun sering kali kita luput menyadari hal itu.Semoga kisah ini
menjadi bahan tafakkur bagi siapapun yang hendak pergi berhaji.
Konon Mbah Kholil waliyullah dari bangkalan madura,dulu
berkali-kali urung pergi haji. Bukan karena dicekal, atau termasuk waiting-list
oleh penjajah atau lainnya.Mbah Kholil tidak jadi pergi meskipun uang sudah
siap karena sering terbentur kepada pemandangan kemiskinan disekitarnya. Maka
Mbah Khlil selalu menunda hajinya dan memberikan uangnya untuk mereka yang
memerlukan: orang miskin yang sakit, atau orang miskin yang tak bisa sekolah
dan keperluan makan bagi korban penjajahan.
Kisah Mbah Kholil tersebut mengingatkan kita kepada
Abdullah bin Al-Mubarak yang berkata, “Pada suatu masa ketika selesai pergi haji,
aku tertidur di Masjidil Haram. Tiba-tiba aku bermimpi melihat dua malaikat
turun dari langit, lalu yang satu bertanya:
‘Berapa banyak orang berhaji tahun ini?’
‘Enam ratus ribu orang.’
‘Berapa banyak yang diterima?’
‘Tidak seorang pun yang diterima, kecuali seorang
tukang sepatu di Damsyiq yang bernama Muwaffaq.Dia tidak jadi berhaji, tetapi
hajinya diterima, sehingga semua yang berhaji tahun ini diterima berkat
diterimanya Haji Muwaffaq itu.’
Ketika mendengar percakapan itu, aku pun
terbangun dari tidur dan berangkat menuju Damsyiq untuk mencari Muwaffaq.
Ketika tiba di rumahnya dan kuketuk pintunya, keluarlah seorang
laki-laki.Langsung aku bertanya, ‘Benarkah kau Muwaffaq?’‘Ya,’ katanya.
Lalu aku brtanya , ‘Kebaikan apakah yang telah kau
lakukan sehingga mendapat derajat yang demikian tinggi?’
Muwaffaq menjawab, ‘sudah lama sekali aku bermaksud
melaksanakan ibadah haji, tetapi tidak bisa karena keadaan ekonomiku tidak
memungkinkan.Mendadak aku mendapat uang tiga ratus dirham dari pekerjaan
membuat dan menambal sepatu.Lalu aku pun berniat ingin menunaikan ibadah haji
tahun ini.’
Sejenak ia mengambil napas, dan kemudian
melanjutkan pembicaraannya lagi, ‘Suatu hari istriku yang tengah hamil mencium
bau makanan dari tetangga sebelah, dan dia menginginkan makanan itu. Maka aku
pun pergi ke rumah tetanggaku.Setelah kuketuk pintu, keluarlah seorang wanita,
lalu kusampaikan maksudku.’ Maka jawabnya: ‘Saya terpaksa membuka rahasia.
Sebenarnya anak-anak yatimku sudah tidak makan selama tiga hari, sehingga akupun
keluar mencari makanan untuk mereka.Tiba-tiba aku mendapati bangkai keledai,
lalu saya potong sebagian dagingnya dan saya masak.Maka makanan ini halal bagi
kami dan haram bagimu,’ kata wanita tersebut.
Mendengar jawaban itu, aku kembali ke rumah mengambil
semua uangku sebesar tiga ratus dirham itu dan aku serahkan pada tetanggaku
tersebut.Aku katakan kepada ibu anak-anak yatim itu, ‘Belanjakanlah uang ini
untuk anak-anakmu yang yatim itu!’ Dan aku berkata pada diriku sendiri: ‘Hajiku
dipintu rumahku, maka kemanakah aku akan pergi?”’
Haji ,kini tidak lagi sebagai sebuah ritual untuk mendekatkan dengan sang Khaliq, tapi lebih
kepada prestisius belaka. Beberapa orang bahkan marah -marah dan memaki -maki salah
seorang yang menyapa
tanpa memberikan gelar pak haji atau ibu haji.
Haji yang sesungguhnya bukan pakaian ihram yang
serba putrih dan peci putih.Haji lebih kepada memutihkan seluruh perilaku
kehidupan kita secara horizontal dengan sesama.
Sudahkah tetangga kita bisa makan?sudahkah mereka
tercukupi dari sendi kesehatan dan jaminan pendidikannya yang ternyata jauh
dari kata layak apalagi cukup.
Kita nyaris pingsan dan bahkan lebih enak pura
-pura tidur diatas jeritan dan rintihan tetangga dan sanak saudara yang serba
papa.
Janganlah bersedih apabila kita tak juga dapat
pergi haji, lihatlah pahala yang setara dengan pahala haji:
·
Mengerjakan
puasa pada hari Arafah di Tanah Air akan berbuah pahala seperti pahala ibadah
haji.
·
Barang
siapa di waktu pagi berniat membela orang yang teraniaya dan memenuhi kebutuhan
seorang muslim yang papa , baginya ganjaran seperti ganjaran haji yang mabrur.
Sudahkah kita mabrur dalam menjalani kehidupan ini
?
Respon Cepat