Assiry gombal mukiyo, 30 Oktober 2014
Presiden yang menolak tinggal di Istana dan memilih hidp di ladang dan
menempati rumahnya sendiri di lorong tak beraspal dan sehari-hari hanya
dijaga dua pengawal di kelokan jalan dan ditemani seekor anjing berkaki
tiga yang setia dan ke mana-mana mengendarai sebuah VW kodok tahun 1987
berwarna kusam: ia bukan tokoh sebuah dongeng Amerika Latin. Ia benar
ada, di abad ke-21: José Mujica, presiden Uruguay.
Dalam usia 78
tahun, ia, yang dipanggil “Pepe”, seorang kakek rombeng, dengan sepatu
usang dan baju acak-acakan. Ia bergaji 20 ribu dollar, tapi 90% dari
uang itu ia berikan untuk sumbangan buat orang-orang yang kekurangan.
Sisanya praktis senilai pendapatan rata-rata orang Uruguay. Bersama
isterinya, LucÃa Topolansky, yang juga seorang senator, ia tetap
mengolah ladangnya yang ditanami kembang krisan, tanpa pembantu.
Ia tak peduli bila orang menyebutnya pak tua eksentrik. Ia tak mau
disebut sebagai “presiden paling miskin di dunia.” Ia punya pengertian
sendiri tentang “miskin”. Orang yang paling miskin, demikian katanya,
“adalah orang yang punya banyak keinginan.”
Mungkin ia terdengar
seperti seorang Budhis yang menganggap hasrat dan lobha (atau “loba”
dalam bahasa Indonesia adalah pangkal penderitaan). Tapi orang Marxis
(atau bekas Marxis) ini tak inginkan pencerahan. Mungkin ia terdengar
seperti seorang pengikut Gandhi yang melaksanakan “hidup di tingkat
bawah, tapi pikiran di tingkat tinggi”. Tapi José Mujica bagi saya lebih
menakjubkan ketimbang Gandhi.
Gandhi tak pernah duduk di tahta;
Mujica justru persis berada di situ. Dengan kata lain, ia berada di
ruang kekuasaan dan pelbagai godaannya, sementara Gandhi tidak. Gandhi,
yang di masa mudanya seorang advokat yang hidup cukup, memililih
kebersahajaan yang ekstrim sebagai pernyataan politik dan spiritual.
Mujica tak demikian. Ia tak mengubah dirinya. “Gaya hidup saya adalah
konsekuensi dari luka-luka saya,” katanya kepada Jonathan Watts dari The
Guardian, akhir tahun lalu. “Saya anak sejarah saya sendiri.”
Luka dalam sejarah itu cukup banyak; juga secara fisik. Sejak awal
1960-an ia bergabung dengan gerilya Tupamaros yang merampok, menculik,
dan mendapatkan uang tebusan untuk dibagi-bagikan kepada rakyat yang
melarat. Pada 1970 ia ditangkap buat pertama kalinya. Ia melarikan diri
dari Penjara Punta Carretas dengan menggedor pintu bui. Sejak itu ia
beberapa kali kena tembak: ada enam luka di tubuhnya. Pada 1972 ia
ditangkap dan disekap selama 14 tahun. Dua tahun di antaranya ia
dikungkung di dasar sumur, tempat ia, agar tak jadi gila, berbincang
dengan kodok dan cengkerik.
Mungkin itu sebabnya ia berkata,
“Bertahun-tahun saya cukup bahagia dengan hanya memiliki sepotong
kasur.” Dan kini rumahnya pun cuma punya satu kamar tidur. Tak perlu
lebih; tak ada orang lain yang tinggal. Presiden dan Ibu Negara Uruguay
mencuci pakaian mereka sendiri. Orang bisa melihatnya dijemur di
gantungan di halaman.
“Pepe” tak menganggap kesederhanaan itu
harus diajarkan kepada orang lain. “Kalau saya minta orang lain hidup
seperti ini, mereka akan bunuh saya,” katanya. Tapi ia sadar, seperti
Gandhi: bila semua orang mengembangkan kebiasaan hidup berlebihan, bumi
yang hanya satu ini tak akan memadai — dan akan rusak dieksploitasi
tanpa henti. Ia pernah berkata: “Cukupkah sumber kekayaan planet ini
jika sebagian besar orang hidup dengan konsumsi setingkat penghuni
negeri kaya?”
Dalam hal itu, cara hidupnya adalah perjuangan
gerilya yang panjang melawan kecenderungan komsumtif — ketika Pasar
demikian berkuasa dan manusia seperti kerbau dicocok hidungnya. Ia tetap
melihat mala yang datang dari kapitalisme, tapi ia bukan seorang Marxis
lagi ketika tak membayangkan sebuah akhir sejarah di akhir revolusi.
“Dunia selamanya akan memerlukan revolusi”, katanya. Revolusi tak
berarti harus dengan kekerasan. Ajaran Konghucu dan Kristen itu
revolusioner, kata bekas gerilyawab bersenjata ini.
Tak aneh.
Hidup dalam praxis bertahun-tahun, Pepe tak bisa setia mati kepada
doktrin. Dalam lakunya selalu ada semangat pembebasan, tapi ia gabungkan
itu dengan tujuan praktis. Ia undang modal asing, dengan tujuan
menumbuhkan ekonomi, agar pemerataan tak berarti pemelaratan. Ia
bebaskan jual beli marijuana, dengan tujuan agar kartel narkoba tak bisa
memonopoli. Dan ia menjalani hidup yang begitu bersahaja, dengan tujuan
ia (dan mudah-mudahan manusia) bisa bebas dari benda-benda.
Di
situ ia menghidupkan kembali ethos yang diajarkan agama-agama: hidup
dirayakan, tapi nafsu tamak diharamkan. Bedanya: Pepe tak percaya Tuhan.
Ia hanya percaya ada rasa keadilan dan kesetaraan dalam sejarah, dan
manusia berbuat baik ke arah itu.
_______________________________
Disadur dari berbagai referensi dan dinukil serta diulas sebagian dari tulisan Goenawan Mohammad.
Respon Cepat