Assiry gombal mukiyo, 29 November 2014
Masa pembaharuan dan latar belakang diturunkannya ayat-ayat pena (QS.
Al ‘alaq : 1-5) di awal kenabian Muhammad SAW adalah awal peradaban yang
cerdas dengan ditandai lahirnya risalah islam dengan perintah Allah
untuk membaca dan menulis. Kita bisa belajar banyak, bahwa ditinjau dari
segi yuridis pun kewajiban mempelajari ilmu baca tulis mendapat
penekanan lebih. Islam lebih memberikan prioritas utama pada shalat,
sebagai ibadah pokok yang menjadi tiang agama. Oleh karena itu,
keselamatan seorang muslim atau kecelakaannya di akhirat, sangat
ditentukan oleh bagaimana cara dia memelihara shalatnya. Namun, perintah
shalat datang kemudian dan terlampaui oleh ayat-ayat pena. Mengapa
demikian?
Kita telah berada dalam kajian asbabul nuzul yang
menarik. Muhammad SAW menerima wahyu pertama, justru tentang perintah
membaca dan menulis, tidak lepas dari latar belakang bangsa arab yang
akan jadi sasaran dakwahnya. Bangasa arab pada umumnya, sebelum
kedatangan islam, dikenal buta aksara, bahkan dari satu sisi, “anti
huruf”. Tapi julukan "Jahiliyyah" yang disematkan kepada Bangsa arab
bukan karena mereka bodoh, bukan juga karena mereka oon bin bahlul
melainkan perilaku mereka sungguh sudah jauh dari nilai-nilai agama dan
moral. Sehingga mengesampingkan nurani dan akal sehat. Contoh yang
berlaku pada waktu islam belum ada mereka tega mengubur hidup -hidup
bayi perempuan karena dianggap sebagai aib jika memiliki anak perempuan.
Hal ini pun pernah dilakukan Sahabat Umar Bin Khattab kepada putrinya
sebelum memeluk islam.
Islam membawa perubahan besar
dengan mengangkat derajat perempuan.Meskipun orang-orang arab dikenal
sebagai bangsa penyair, namun tulisan
mereka tidak termasuk ranking tulisan adiluhung yang menyamai
tulisan-tulisan besar dunia seperti hieroglipt (mesir), devenagari
(india), kaminomoji (jepang), azteka (Indian), huruf paku (assiria),
romawi, cina dan lain-lain.
Tradisi “mulut ke mulut” dalam
menyampaikan pesan atau menalar syair dan menghapal silsilah,
menyusutkan hasrat orang arab mengangkat tulisan mereka ke tingkat
presisi yang tinggi, dan jenjang kelasnya dengan puisi yang mereka
agungkan tidak seimbang.
Bagi bangsa arab, dalam kondisi lalai
seperti itu, kehadiran ayat-ayat pena ini adalah bom. Bagi kita kaum
muslimin, wahyu permulaan ini mengisyaratkan tentang kewajiban membaca
dan menulis yang mendominasi tempat tertua dalam literasi hukum islam.
Pena dan tulisan berhubungan erat dengan bidang keilmuan. Lebih dari
sekedar persekutuan semangat mencipta dan rasa keindahan bagi pelukis,
isyarat “bi Al Qalam” (dengan pena) dalam firman Allah tidak selalu
mengandung satu dimensi makna, yakni pena biasa untuk menulis atau kuas
untuk melukis, seperti yang umum kita pahami selama ini. Saya
menerjemahkan "bi Al Qalam" dalam konteks kekinian dengan “perabot multi
media” yang lebih luas, mencakup radio, televise, telepon, telegraph,
teleks, facsimile, computer dan seterusnya tidak hanya terbatas pada
pena.
Mengapa kita musti mengetahui dasar-dasar pemikiran yang
terkandung dalam filosof kaligrafi islam, tiada lain untuk mengembalikan
kontrol kita pada tujuan-tujuan awal kehadirannya sebagaimana
dituntunkan Al Quran. Moral Al Quran hendaknya memberikan sentuhan
kolasi pada kanvas, kayu, kaca, keramik, tunggul, karpet, gelas, piala,
kertas, tembaga, plaster, kulit, tanah dan batu. Al Quran adalah sumber
segala inspirasi dan dapat dijadikan ajang perburuan kreasi yang tiada
habis-habisnya.
Sangat menarik menyusuri sejarah lebih lanjut,
bagaimana Al Quran sanggup melakukan pendobrakan dan transformasi
budaya, mengubah substansi sesuatu yang mapan menjadi bentuk baru yang
memiliki dinamik seperti tulisan arab. Lebih 1000 tahun sebelum islam,
perjalanan kaligrafi arab sangat tesendat, dan tidak melahirkan
keanekaan ranting-ranting yang kukuh. Hanya beberapa puluh tahun sesudah
islam, terjadi perkembangan besar. Akar-akar tulisan pecah menjadi
lebih 400 aliran.
Mungkin, berkat fadhilah yang diberikan kepada
seni kaligrafi ini, kaligrafi besar yaqut al musta’shimi (w.698 H/1298
M) mengibaratkan kaligrafi sebagai arsitektur ruhani yang diekspresikan
lewat medium jasmani (alkhattu handasatun ruhaniyatun, dzaharat
bialatin jismaniyah). Siloka ini oleh M. Ugur Derman dalam jurnal art
and the Islamic world volume 4, 1987, dibahasa inggriskan menjadi
“calligraphy is a spiritual geometry brought about with materials
tools,” (kaligrafi adalah suatu ilmu ukur spiritual yang menghasilkan
perabot kebendaan). Selanjutnya, kata-kata ini dijadikan definisi yang
diakui banyak pihak.
Penekanan yang jadi pusat perhatian kita
adalah, bagaimana pengaruh yang dipantulkan wahyu permulaan Al Quran
punya bias begitu besar. Namun, kita juga masih perlu mengkaji ayat-ayat
lain dan beberapa hadits nabi SAW yang mendorong reformasi kaligrafi
arab begitu cepat, dinamis dan bergemuruh. Satu diantara ayat al quran
yang jadi simbol “kekuatan magis” itu adalah yang pertama dari surat Al
qalam, “nun, wal qalami wama yasthurun,“ (nun, perhatikanlah qalam dan
apa saja yang mereka goreskan).
Penafsiran yang lebih akrab
kepada pemahaman kita, dalam kata nun yang kontroversil, adalah yang
berdasar kepada riwayat ibnu abbas, diikuti penafsiran ini oleh al
dahhak, al hasan dan qatadah, bahwa “arti nun adalah dawat atau tinta,”
parallel dengan hadits keluaran abu hatim riwayat abu hurairah, dimana
nabi SAW mengatakan : “Allah menciptakan nun, yakni dawat.”
Para
pelukis dan khattat segera menangkap objek isyarat ayat al quran dan
qaul nabi itu. Isyarat itu cukup menantang, dan para seniman menjawabnya
lewat olah bentuk dan konsepsi penciptaannya. Lukisan-lukisan indah
lahir melalui keragaman gaya dan pesona visualnya. Lagipula, para
seniman kaligrafi leluasa bergerak, karena tidak menemukan hambatan
psikis yang mengacu pada kata haram atau pamali, seperti yang dikenakan
pada karya-karya seniman patung, tari dan nyanyi yang oleh nabi pernah
dicap malahi karena mudah terpesona obyek syirik dan hura-hura. Nabi
mengatakan, “tulisan bagus akan membuat kebenaran tampak nyata, karena
keunggulan.” Tetapi, inilah kata-katanya yang “memanjakan“ para seniman
kaligrafi : “barang siapa meraut pena untuk menulis ilmu, maka Allah
akan memberinya pohon di syurga yang lebih daripada dunia berikut
seluruh isinya.” Dan, “barang siapa menulis bismillahir rahmanir rahim
dengan khat yang indah, ia berhak masuk syurga tanpa hisab.”
Dengan menangkap getaran bunyi firman dan sabda itu saja, sang seniman
dituntut mampu mengamalkan kekuatan imajinatif pribadinya.
Dorongan-dorongan itu juga sudah cukup membuat semangat para khattat
terdahulu lebih dari sekedar “binal” untuk membentuk kreasi-kreasi
unggul. Uniknya, modal ini mendapat pembelaan di mana-mana, baik dari
kalangan ulama maupun cendekiawan penguasa. Dalam berbagai siloka, seni
kaligrafi dilukiskan sebagai kecantikan rasa, duta akal, penasihat
fikiran, senjata pengetahuan, penjinak saudara dalam pertikaian,
pembicaraan jarak jauh, penyimpan rahasia dan khazanah berbagai masalah
kehidupan.
Ringkasnya, “khat itu ibarat ruh di dalam tubuh,”
seperti dikatakan sebagian ulama. Bukannya para khattat tidak tahu
maksud yang diucapkan nabi ini : “hendaknya kalian mempercantik tulisan,
karena dia itu adalah kunci-kunci rezeki.”
Semuanya menimbulkan
daya tarik. Dan, bagi para kaligrafer, di sana terletak ilham untuk
mencipta. Al Quran adalah mata rantai penghubung antara tulisan arab
dengan dunia islam. Maka, menjaganya walau setitik kesalahan adalah
wajib. Ketentuan ini berlaku, baik untuk memenuhi keperluan estetis
maupun untuk keperluan fungisonal.
Kamil al baba mengajak kita
untuk lebih bersungguh-sungguh menangkap fungsi-fungsi kaligrafi sebagai
medium ekspresi. Ia mengingatkan sebuah “tragedi” di dunia arab, ketika
tulisan tangan dioper fungsi oleh mesin ketik dan alat-alat cetak
elektronika. Al baba hanya bisa mengingatkan, bahwa tulisan tangan masih
diperlukan dan harus dilestarikan di tengah riuhnya iming-iming mesin
tulis yang lebih simple dan asal pencet.
Di tanah air kita, mesin
tulis arab belum jadi “ancaman”. Namun, diakui, kebiasaan menulis halus
huruf arab yang dulu diajarkan di sekolah-sekolah dasar dan menengah
kini menghilang dari jajaran kurikulum. Pengucilan jenis keilmuan dan
keahlian dalam menulis kaligrafi terbukti berakibat bukan hanya jadi
beban bagi pembaca, tetapi sering juga menghambat kelancaran membaca.
Tulisan jelek, apalagi yang tidak mengikuti aturan yang betul, dapat
memupus gairah membaca tulisan -tulisan arab maupun kitab di pelajaran
-pelajaran sekolah atau pesantren.
Usaha LPTQ Pusat,
memasukkan
seni menulis khat indah Al Quran ke dalam MTQ, memang, merangsang gairah
kalangan muda mempelajari kaligrafi arab di mana-mana meskipun belum
bisa banyak berbuat untuk sejajar dengan para Kaligrafer di Timteng..
Beberapa sekolah mengisi rubrik kegiatan ekstra kurikulernya dengan
pelajaran ketrampilan kaligrafi. Ini artinya peluang untuk secara resmi
memasukkan kembali seni menulis indah huruh arab atau Al Quran ke dalam
sekolah terbuka lebar.Didukung juga dengan semakin maraknya berdiri
sanggar -sanggar Kaligrafi dan Pesantren Kaligrafi di Indonesia.Salah
satunya adalah Pesantren Seni Rupa dan Kaligrafi Al Quran PSKQ
Modern ( Islamic Boarding School Of Art and Quran
Calligraphy).
Fokus utamanya bukan hanya kepada kajian Kaligrafi
seperti yang ada di Indonesia kebanyakan juga di Temteng tapi juga
melukis dan mengaplikasikan lngsung pada pelbagai media dan bahan dengan
terjun langsung di lapangan. Tentu semua perlu proses panjang bsgi
seorang santri agar bisa menguasai kaligrafi dan Seni Rupa yang banyak
cabang seninya.
Di luar pembicaraan kita tentang “keleluasaan”
berekspresi, bagi kalangan dasar yang baru mulai, pelajaran menulis
kaligrafi hendaknya diberikan dari tingkat dasar bisa dimulai dari Riqa
atau naskhi dari huruf perhuruf, ditingkatkan kepada cara-cara merangkai
kata perkata sampai kalimat perkalimat. Metode ini lebih betul, sebab,
dengan membiarkan mereka bebas tanpa ikatan, bukan saja merusak kualitas
tulisan, tetapi jika objek torehannya ayat-ayat suci Al Quran, maka
kekeliruan akan bergerak kepada konsekuensi yang lebih berat lagi, yaitu
perubahan-perubahan makna yang dikandung ayat-ayat suci tersebut karena
kesalahan dalam penulisan.
Respon Cepat