Assiry gombal mukiyo, 1 November 2014
Komunikasi itu gampang-gampang sulit, atau sulit-sulit gampang.
Maksudnya, tampaknya gampang tapi ternyata sulit, tampaknya sulit tapi
lha kok gampang. Itu tergantung macam-macam faktor: bahasa yang
digunakan, situasi, dan konteks komunikasi, latar belakang komunikasi,
latar belakang komunikator dan komunikan. Bahkan bergantung lebih banyak
hal lagi: bergantung canthelan, senggot, dan lain sebagainya.
Nabi Sulaiman bisa berkomunikasi dengan segala macam makhluk. Artinya
beliau kenal betul hakikat gerak daun-daun, gelagat para jin, di arah
mana semut mencium sesuatu, dan apa saja. Dengan kata lain Nabi Sulaiman
itu ilmuwan komplet, beliau mengerti hakikat dan syariat segala macam
makhluk. Sebagaimana para astronom paham watak dan perilaku
bintang-bintang, para dokter hewan tahu sifat dan kelakuan binatang,
para sosiolog mafhum apa saja yang ‘diucapkan’ oleh gerak masyarakat dan
sejarah, para kiai, dan psikolog tahu persis ‘bunyi suara’, sorot mata
Anda, atau kerut-merut kulit wajah Anda. Atau seorang dokter bisa
berkomunikasi dengan penderitaan tubuh Anda cukup dengan menatap wajah,
atau menyentuh kulit tangan atau kening Anda. Para ilmuwan itu kalau
digabung jadi satu, lengkap dengan segala makrifat dan kekayaan
harta-bendanya: akan menjadi Nabi Sulaiman minus kenabian resminya.
Tapi bagi orang-orang awam seperti saya komunikasi itu bisa merupakan
masalah yang ruwet. Saya mungkin terbiasa berkomunikasi dengan pengemis
atau gelandangan, tapi belum tentu ia bisa berdialog dengan seorang
bupati, dengan ahli paranormal, juga pasti akan serba salah kalau
berkomunikasi dengan wewe gombel, thok-thok kerot, atau seekor kambing
dan memahámi betul suara "ngembekny".
Memang komunikasi itu
kelihatannya sepele, tapi kalau gagal, bisa fatal akibatnya. Seorang
penumpang kereta api yang gagap suaranya bertanya kepada penumpang di
sebelahnya: “Mas, jam be beb berrapa sek sek sekkaaarraaarrr
.....ang?”—Ia langsung diajak berkelahi oleh orang itu, karena ternyata
ia juga gagap.
Anda pasti sudah hapal anekdot itu. juga ketika
seseorang yang berdiri berdesak-desakan di bus terinjak kakinya oleh
seseorang di sebelahnya. Sebelum memprotes, ia merasa perlu dulu
mengadakan penelitian terhadap aspek-aspek sosiologis historis dari
orang yang hendak diajaknya berkomunikasi.
“Mas, Mas, saya boleh tanya?” ia bertanya sangat halus.
“Silakan…,” jawab si penginjak dengan heran.
“Mas ini putranya polisi”
“O, bukan, bukan…”
“Punya paman atau sedulur yang polisi?”
“Ndak…ndak…”
“Punya tetangga atau kenalan seorang polisi?”
Dan ketika orang itu menjawab ‘tidak’ juga, maka suara kawan kita itu
mendadak agak keras: “Kalau begitu jangan injak kaki saya ! “
Pengenalan konteks, kerangka dialog, bahkan latar belakang sosiologis
historis, sangat penting dalam komunikasi. Kalau tidak, seseorang bisa
babak belur. Paling tidak, yang terjadi kemudian bukan dialog, melainkan
monolog.
Dulu waktu saya remaja, sebagai anak ke 6 dari 9
bersaudara saya sering disuruh 2 atau sekadar beli sesuatu ke Warung
oleh salah satu kakak tertua.
Suatu hari kakak saya memanggil dan
berkata: “ Assiry tolong beli Anu di warung si anu, kalo beli anunya itu
mbok dibuka dulu terus dilihat anunya biar pas!".
“Ya, mbak ,” jawabku , “nanti aku lihat anunya si anu itu biar pas, tenang aja!” kataku meyakinkan.
Tau -tau saya lupa melihat dan memperhatikan apa yang dipesankan kakak saya tadi. Akhirnya kakak saya marah besar.
Sambil berkacak pinggang, Kakak saya teriak " aku kan sudah bilang
kalau beli anu itu mbok ya dibuka dan dilihat dulu anunyaaaaa, biar ngga
salah anunya!,...Goblog ...glodakkkk.......!! Sambil membanting kursi.
Dengan gemeteran aku jawab "ya mbak tadi aku lupa lihat anunya, habis
aku ngga enak kalo aku lihat-lihat anunya repot pake buka -buka anu
segala takut dia marah anunya dilihat -lihat, eh malak kebesaran ukuran
anunya.
Yang saya bicarakan dengan kakak saya itu adalah soal
"membeli sandal". Dia ingin saya membuka bungkus plastiknya, terus
dilihat ukurannya agar pas. Anda jangan berfikiran ngeres dulu dung!.
Ada banyak bahasa komunikasi yang lain: pandangan mata, mimik wajah,
gerak, kode-kode, atau ‘komunikasi sunyi’. Dalam metode-metode latihan
teater ada dikenal verbal-communication, ada verbal communication, serta
ada silent cornmunication. Ada komunikasi verbal, ada yang fisikal,
serta yang sunyi.
Dalam dimensi-dimensi kehidupan tertentu—tanyakan
kepada pakar kasepuhan, kaum sufi, ahli kebatinan, orang yang bercinta,
dan seterusnya—komunikasi paling efektif justru dengan menggunakan
‘bahasa’ diam. Kalau istri Anda purik, ngambeg, gulung 2 di lantai:
ketahuilah bahwa ia justru sedang menggunakan bahasa yang paling efektif
untuk menyatakan perasaannya kepada Anda. Kalau dengan kata-kata, malah
perasaan itu tak sampai.
Dulu teman saya pernah bercerita
tentang seorang temannya. teman yang katanya Bahasa Arab dan Inggrisnya
terbatas pada kata Na'am, la, ‘yes’, ‘no’, ‘what’, atau “yes no
what-what” (ya ngga apa-apa). Tapi dialah yang paling berhasil
komunikatif dengan orang 2 arab dan sempat dapat kenalan cewe iran yang
imut, berkat kemampuannya menggunakan gerak tubuh, mimik muka, serta
inisiatif-inisiatif komunikasi yang lain meskipun tak menggunakan
kata-kata.
Di tengah pergaulan sehari-hari, ada teman yang bisa
komunikatif di obrolan, tapi gagap di podium. Ada yang fasih di ruang
ceramah, tapi glagepen paugeran. Ada yang maha orator di panggung, tapi
ndlahom dan mlongo atau malah ngompol di depan cewe. Ada yang pintarnya
ngobrol dengan anak kecil, ada yang dengan orang ‘bawah’, ada yang bisa
komunikasi nyogok uang untuk keperluan tertentu, pokoknya macam-macam.
Tapi yang paling inti dan substansial dalam peristiwa komunikasi
sesungguhnya bukan ‘bagaimana bahasa yang digunakan’, melainkan apakah
kedua belah pihak terbuka atau tidak untuk berkomunikasi. Kalau
seseorang terbuka untuk berdialog, maka bahasa gampang dicari. Tapi
kalau ia tertutup, maka pakai bahasa apa pun akan salah kedaden.
Ketertutupan komunikasi dalam masyarakat kita biasanya disebabkan oleh
penyakit-penyakit seperti feodalisme, hirarkisme, atau segala macam
posisi perhubungan sosial yang mendorong sikap apriori.
Contoh
feodalisme komunikasi misalnya ketika seorang bapak hanya sanggup untuk
‘mengomongi’ dan tak sanggup ‘diomongi’. Kalau dia mengomongi, segalanya
‘betul’. Kalau dia ‘diomongi’, segalanya ‘salah’.
Juga dalam
kondisi hirarkisme tata sosial misalnya yang terjadi di tubuh birokrasi,
atau bahkan ketika ‘rasa birokrasi’ melebar keluar konteks formal
birokrasi itu sendiri. Seorang atasan tak bisa diomongi, ia hanya punya
‘kewajiban’ untuk mengomongi. Kondisi seperti itu membuat orang
menjadiantikritik, tak bisa mendengarkan apa pun yang dia anggap
mengkritiknya atau menyalahkannya. Saking tak biasanya mendengarkan,
bahkan terkadang ia tak tahu bahwa sesungguhnya ia dipuji. Ia terbiasa
memerintah, terbiasa ‘berkuasa’ dan ‘paling benar’, sehingga kalimat
pujian ia takutkan sebagai perongrong kekuasaan dan kebenaran dia.
Kata orang-orang pintar, komunikasi itu mesti rasional dan kontekstual,
juga obyektif. Kalau subyektif, apa pun saja yang kita katakan akan
dianggap salah.
Mungkin karena pusing oleh beberapa kasus
diskomunikasi, akhir-akhir ini saya sering nglindur dan sambat:
“Owalah!!!!!!!!!!!!!!?! mbok ya kalau anu itu dibuka dan dilihat dulu
anunya, supaya ndak salah anu.
Respon Cepat