Assiry gombal mukiyo, 24 Januari 2015
Di Indonesia, manusia miskin masih sangat banyak jumlahnya. Setiap
Pemimpin di negeri ini hampir sudah bisa dipastikan memberikan informasi
yang cenderung subyektif dengan berkurangnya rakyat yang miskin ketika
dipimpin oleh Presiden tertentu. Biar seolah -olah membuktikan
kinerjanya telah berhasil.Apalagi di kota-kota besar, kaum miskin
kota berserakan di seluruh penjuru. Negara belum bisa menyejahterakan
mereka, walaupun saya optimis pelan namun pasti negara akan
memperhatikan mereka.
Saya sangat jarang ngopi di mall-mall
kecuali kalau ketemu dengan teman. Sekarang malah tidak perlu jauh -jauh
karena saya bisa ngopi semaleman sambil melukis di Arjuna Test &
Assiry Gallery di sebelah barat UMK ( Universitas Muria Kudus).
Kalau saya sedang sendiri , menu makan saya selalu warteg dan minum
seadanya, kesukaan saya adalah jus buah 5 ribuan dipinggir jalan.Namun ketika bertemu dengan kakek-kakek renta yang berjualan hingga
malam hari atau ibu-ibu pemulung yang mukanya hitam mengkilat, saya
selalu berusaha mengulurkan tangan dengan memberi 10 sampai 50 ribu
bahkan terkadang saya kasih lebih dari itu. Saya jarang sekali memberi
pengemis, karena saya memberi kadang cenderung suudzon. Karena saya tahu
banyak di antara mereka cuma malas bekerja.
Bukan berarti saya
dermawan. Saya hanya kagum atas perjuangan para wanita-wanita tangguh
yang berpeluh berdarah menghidupi keluarganya, saya merasa menjerit dan
meraung -raung hati saya ketika teringat persis betapa perjuangan ibu
saya ketika saya masih kecil bekerja dari pagi hari hingga larut malam
sebagai pedagang kecil di Pasar itupun tidak memiliki lapak.
Kalau
Bapak bekerja keras di sawah, biasanya sebagian hasilnya baru setelah 3
bulan sekali bisa panen padi dan punya uang. Sehingga tanpa peran Ibu
mungkin saya dulu tidak bisa sekolah minimal SMA. Betapa perjuangan
mereka adalah "madu" untuk masa depan saya sekarang ini.
Saya sering
sesenggukan sendiri dan berlinang air mata ketika seorang kakek paruh
baya didepan dagangan lusuhnya yang sebetulnya tidak memungkinkan lagi
untuk mencari nafkah tapi dengan kondisi fisiknya yang renta tetap saja
bekerja dan tidak menjadikan keadaannya sebagai pembenaran atas dirinya
untuk mengemis.
Kepada merekalah kita harus membantu walaupun sedikit, yang punya keperkasaan jiwa untuk tidak mengemis.
Mereka berdagang apapun dan memulung apapun, di tengah terik mentari
dan derasnya hujan. Belilah dagangan mereka walau kita tidak butuh,
hanya untuk sekedar alasan untuk memberi mereka sedikit bantuan agar
mereka tidak malu diberi uang tanpa berbuat apa-apa.
Uang 20 ribu
atau bahkan 30 ribu mungkin tidak ada apa-apanya buat kaum menengah dan
berpendidikan di kota-kota besar, digemerlapnya kota yang menyilaukan
rasa humanisme yang mulai bias. Harga kopi Starbucks pun lebih mahal dari itu. Tapi uang itu akan sangat berharga bagi mereka.
Duh Gusti.....Sebagaimana saya pernah melihat seorang Ibu pemulung dan
anaknya yang hanya membeli sayur seribu rupiah di warteg karena tidak
mampu membeli nasi dan lauk lainnya.Jika anda semua para kaum
menengah dan berpendidikan berempati kepada mereka, niscaya kemanusiaan
akan terasa lebih indah adanya. Negara memang belum mampu merawat
rakyatnya, tapi sesama manusia kita harus merawat kemanusiaan kita.
Respon Cepat