Assiry gombal mukiyo, 22 Januari 2015
Gejala cukup mengkhawatirkan
keberagamaan di Indonesia sekarang ini adalah gejala puritanisme.
Celakanya ini tidak hanya terjadi di agama Islam, tapi juga di agama
Hindu dan Kristen.Yang beragama
Islam berlomba-lomba menjadi kearab-araban, dan lambat laun meninggalkan
Islam nusantara yang lebih fleksibel dan sinkretis. Padahal Islam
nusantara inilah yang bisa menjadi alternatif dari Islam gersang dari
Arabia yang menjadi momok kemanusiaan dengan menjadikan Islam sebagai
agama anti seni, anti kemajuan, sekaligus anti emansipasi perempuan.
Yang beragama Hindu juga berlomba-lomba menjadi keIndia-indiaan,
padahal Hindu nusantara yang sinkretis adalah peradaban indah yang
sedikit banyak menetralisir kejahatan Hindu India. Hindu nusantara yang
toleran dan bahkan sinkretis dengan Buddha dan budaya lokal telah
menjadi kekuatan kejayaan masa lalu nusantara.
Yang beragama
Kristen pun sama, bertaburan Kristen-Kristen fundamentalis yang anti
sosial dan membentuk enklave-enklave yang tercerabut dari keseharian
masyarakat kebanyakan seperti Mawar Sharon, Bethany, Pentakosta, dsb.
Padahal Kristen Nusantara seperti Katolik Jawa atau Protestan Batak yang
menyatu dengan adat adalah alternatif jauh lebih baik dari puritanisme
global perkotaan.
Gejala puritanisme ini juga menggerogoti
toleransi antar umat beragama, dimana masing-masing agama semakin
menjauhkan diri dari matriks-matriks pertemuan peradaban dengan agama
lainnya. Apalagi sejatinya , Kristen itu bukan Barat, Hindu itu bukan
India, sebagaimana Islam juga bukan Arab. Sayangnya orang Indonesia
sudah mulai lupa bahwa agama itu input, bukan output. Agama itu membantu
budaya, bukan budaya tunduk pada agama.
Apalagi kini telah
datang genre puritanisme baru yang coba mengoyak kembali kebhinekaan
negeri ini. Islamic State of Iraq and Sham/Syria (ISIS) namanya. Kendati
saya sangat tidak setuju label Islamic yang digunakan mereka. Sebab
saya yakin, Islam tak pernah mengajarkan pengikutnya untuk membunuh rasa
kemanusiaan agama manapun.
Dari titik ini saya sadar, betapa
isu keberagama(a)n senantiasa krusial dan relevan untuk diamalkan dalam
setiap relung zaman. Sebab itu, izinkan saya menulis sepucuk risalah
pada Anda tentang toleransi. Tentang kebhinekaan. Tentang warna-warni
Nusantara ke depan yang kini nasibnya kian tak kunjung terang. Tentang
tenun kebangsaan yang sudah dirajut dan dirawat hingga kini dengan peluh
dan nanah oleh para founding father’s negeri ini kini makin terkoyak.
Dalam relung hati terdalam, sungguh mengiris kalbuku. "Duh Sembok -sembok!".
Respon Cepat