Assiry gombal mukiyo, 13 Maret 2015
Seorang nenek berusia 70 tahun, Simbah Asyani, harus menjalani tahanan
dan proses hukum karena dituduh mencuri 7 batang kayu jati. Padahal,
kayu dimaksud sudah dipotong almarhum suaminya 5 tahun lalu dari lahan
sendiri yang kini sudah dijual.
Atas kasus tersebut, sang nenek
pun sedianya akan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara! Tangisan dan simpuh
sang nenek di depan majelis hakim tidak menyurutkan niat pengadilan
untuk tetap memenjarakan sang Nenek.
"Jiancuk!!"...Pengadilan Negeri situbondo....semoga Tuhan memeberikan hukum setimpal atas hukum yang telah kalian permainkan.
Ini bukan sekadar persoalan bagaimana seorang nenek mengambil kayu dari
lahan sendiri harus berhadapan dengan hukum, tapi juga penggunaan
undang-undang illegal logging. Jika memang Asyani dan keluarganya
mencuri 7 batang kayu untuk dibuat perkakas rumah tangga, pantaskah dia
harus dijerat dengan pasal yang demikian berat? Langkah penegak hukum,
dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan, menjerat Asyani dengan
undang-undang illegal logging merupakan persoalan "ndobol dan assu".
Sebab pelanggaran atas undang-undang tersebut tidak bisa disamakan
dengan tindak pidana biasa seperti pencurian. Karena sesungguhnya
tingkat keseriusan kasus illegal logging sebanding dengan kasus korupsi
karena di dalamnya ada beberapa lapisan tindak pidana seperti kejahatan
terhadap keamanan negara, keamanan umum, hak asasi manusia, dan
pencurian itu sendiri.
Adapun apa yang dilakukan Simbah Asyani,
jika memang benar bersalah melakukan penebangan, tidak dalam skala
masif, tidak melibatkan jaringan, tidak mengandung kepentingan motif
ekonomi, dan lainnya. Lantas mengapa penegak hukum begitu bersemangat
menghakimi Simbah Asyani?
Kado "Jiancuk" aku kirimkan beribu -ribu
kata dan sumpah- serapah untuk Perhutani yang dengan kekuasaan yang
dimiliki menyeret kaum papa ke penjara.
Jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut pada akhirnya kembali ke realitas tentang
ironi penegakan hukum di Tanah Air. Lembaga hukum hanya menciptakan
citra seolah-olah telah menegakkan hukum. Padahal, mereka hanya
menciptakan citra palsu (pseudo image) karena dalam kenyataannya mereka
sama sekali tidak pernah menciptakan keadilan sejati.
Kondisi
serupa juga di antaranya pernah dialami Nenek Minah, 55, yang diganjar
hukuman 1 bulan 15 hari setelah diseret ke pengadilan oleh sebuah
perusahaan karena perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao. Begitu pun
nasib AAL, 15, seorang pelajar SMK di Palu yang diadili dan diancam 5
tahun penjara karena mencuri sandal jepit milik seorang anggota Brimob.
Sang anggota polisi yang sebelumnya sudah menginterogasi dan melakukan
kekerasan hanya diberi sanksi tujuh hari. Tapi bagaimana jika yang
dihadapi masuk dalam kategori white collar crime? Dari fakta yang ada,
sebagian besar implementasi hukum sering kali tidak menunjukkan tajinya,
termasuk dalam kasus illegal logging.
Lihat saja kasus Thedy
Antoni yang diputus bebas oleh PN Padang, vonis bebas Adelin Lis oleh PN
Mandailing Natal. Begitu pula Aiptu Labora Sitorus yang masih bisa
berkeliaran bebas walaupun vonis berkekuatan hukum tetap sudah
dijatuhkan. Polda Riau juga pernah mengeluarkan SP3 14 perusahaan HTI
yang diduga melakukan illegal logging.
Penegakan hukum hanya
tajam kebawah dan tumpul keatas, semuanya hanya sebagai citra bukan
karena penegakan hukum yang seadil -adilnya,
Sekali lagi Assuuuu....buat Pengadilan Negeri Situbondo.
Respon Cepat