Assiry gombal mukiyo, 22 April 2015
Sedekah itu tidak ada hubungannya dengan kaya atau miskin. Sedekah itu hubungannya adalah berbagi rizki.
Anda punya uang 100 ribu, anda berikan ke orang lain 30 ribu, bagian
anda 70 ribu. Kalau anda berharap 30 ribu itu berlipat ganda menjadi 300
ribu, itu bukan sedekah namanya, itu berdagang. Dihadapan Allah rizki
kita yang sesungguhnya adalah rizki yang kita bagikan untuk sesama
dijalan Allah.
Sedekah menurut
saya itu seperti "beol". Filosofinya adalah ketika kita makan endingnya
pasti beol. Sama halnya dengan ketika Allah melimpahkan kepada kita
entah nikmat yang berupa materi maupun non materi tentu kita harus
"membeolkannya". Artinya kita tidak hanya sekadar mensyukurinya ( Syukr
bi al lisan) tapi juga (Syukr bi al arkan) dengan cara berbuat baik dan
berbagi kepada sesama. Bayangkan jika setiap hari anda makan tapi "ndak"
membeolkannya. Itulah essensi sedekah yang sesungguhnya.
Nasionalisme pun secara filosofis sudah dicontohkan oleh para leluhur,
para pendahulu bangsa semenjak penjajahan seperti ritual sedekah bumi,
sedekah laut. Terlepas dari persoalan syirik/musyrik’, inikan hanya
penilaian subyektifitas semata, karena saya tidak tahu hati orang
sehingga tidak bisa asal menuduh syirik.
Sedekah bumi dan sedekah
laut itu adalah wujud syukur atas bumi dan laut yang dianugerahkan Allah
kepada Bangsa Indonesia. Sedekah bumi itu sebagai bentuk handar beni,
perasaan yang bukan saja memiliki tapi juga mencintai negeri ini.
Satu teladan yang oleh Saudara Marhawi salah satu Santri PSKQ Modern
angkatan 2014/2015. Dia telah "membeolkan" kelebihan rizkinya dengan
memborong buku yang bernilai satu juta lebih untuk diinfaqkan ke
Perpustakaan PSKQ Modern.
Tentu Saudara Marhawi sangat
ikhlas "beol" dan tidak mungkin mengorek atau berharap beolny itu
diganti oleh Allah.Tanpa diminta saya yakin Allah menjadikan Saudara
Marhawi sebagai
samudera ilmu yang siapapun saja kelak bisa mereguk ilmunya. Dengan
menginfaqkan puluhan buku agar bisa dibaca orang lain itu sama saja dia
menabung ilmu yang bisa saja Allah mengganti buku-buku itu menjadi
"samudera ilmu" yang Allah anugerahkan lautan ilmu kepadanya (
ladunni). Itu hak prerogratif Allah bagi siapapun saja yang
dikehendakiNya.
Jika kita menanam sudah pasti kita menuainya. Apa
yang kita tanam itulah yang kelak kita nikmati. Jika menanam keburukan
sudah barang tentu hidup yang tidak bahagia, tidak nyaman dan tidak
tenang yang pasti kita panen.
Tidak perlu kita tanyakan lagi apakah yang ditanam oleh Saudara Marhawi kelak akan berbuah atau tidak.
Saya melihat barisan para Malaikat yang putih bercahaya memberikan
limpahan kemanfaatan Kepada Saudara Marhawi dan juga kepada siapapun
yang berkunjung ke Perpustakaan mini PSKQ Modern untuk mengkaji ilmu dan
mengamalkannya.
Illustrasi:
Puluhan buku yang diinfaqkan
Saudara Marhawi bin Bahruddin Ketapang, Kalimantan Barat.Semoga
bermanfaat dan melahirkan berjuta -juta ilmu dan hikmah.
Respon Cepat