Buton Riau, Assiry gombal mukiyo, 22 Oktober 2015
Saya tidak berani menyebut bahwa asap tebal yang memeluk erat bahkan
tak mau berpendar dari wilayah Sumatera selatan, Jambi, Riau, Kalteng
dan sekitarnya sebagai musibah, atau petaka. Ini hanya soal dialektika
kita terhadap Tuhan yang telah menciptakan asap itu sendiri.
Saya menyebutnya sebagai " bukti kemesraan" alam terhadap kita bangsa
manusia. Masih kurangkah cinta dan kebaikan yang diberikan alam untuk
kehidupan kita?
Bagaimana tidak mesra, lha wong hutan dibakar kok
apapun yang dibakar tentu menimbulkan asap. Asap itu adalah "kado cinta"
alam terhadap kita. Dan kado cinta dari alam adalah cerminan perilaku
kita sendiri. Beratus tahun tanah dibajak, diracuni dengan gas
industri, digorok dengan racun kimiawi, dihisap paksa minyak dan
batubara, diperkosa hingga tak tersisa.
Lantas hari ini asap yang
mengepul pekat bukan karena alam sedang murka dan menumpahkan
kekesalannya. Boleh lah sedikit alam "bercanda" mengeluarkan asapnya.
Itupun karena ulah kita bangsa manusia yang terus -menerus menebar
kerusakan bagai menampar "muka bumi".
Kabut asap hadir sebagai
fakta imajis-metaforis. Memasuki “kabut asap”, tidak selalu berarti
memasuki sebuah kawasan hutan atau lahan gambut yang terbakar secara
faktual. Sesungguhnya kita bangsa ini sudah ratusan tahun terkungkung
oleh asap yang terus mengepul. Asap-asap itu bisa bernama korupsi, bisa
juga kita sebut sebagai tata pemerintahan yang 'acakadul', DPR yang
mustinya menjadi tempat menumpahkan segala aspirasi dan keluhan rakyat
justru yang sering kita keluhkan dan tempat sumpah serapah atau
asu-asuan bagi"wong cilik". Singkatnya apa saja yang semrawut dalam
kehidupan ini bisa kita katakan sebagai kabut asap. Sesuatu yang samar,
remang dan penuh kegamangan.
Orang bisa saja hanya masuk ke
hutan atau pun lahan terbakar, melihat secara kasatmata bagaimana si
jago merah melahap begitu cepat, tetapi ruang kabut asap itu tetap
bertapal-batas baginya.
Itu berarti, memasuki ruang kabut asap
adalah untuk sejenak meninggalkan dunia di luarnya, lalu “meleburkan
diri” sekaligus berkeakraban dalam peristiwa yang dibingkai sebagai
kebakaran hutan dan lahan, serta membiarkan diri menjelma ke dalam apa
yang dilihat.
Hanya dengan cara itu, kita dibuat melihat sekaligus mendengar jeritan atau pun kegetiran dalam tafsir yang tidak tunggal.
Dalam makna lain, “kabut asap” menampung atau sebaliknya memberi ruang
lebih luas berlangsungnya geliat pemikiran yang kritis, satiris,
multidimensi, reflektif sekaligus mencerahkan, terutama seputar mitos
(untuk menyebut perangkap) kemajuan yang terinstitusionalisasi dalam
pembangunisme dewasa ini.
Bedanya, di sini kemajuan tidak lagi
ditilik dalam pendekatan “ekonometrik” melainkan dalam perspektif yang
katakanlah masuk wilayah social and humanities, sebuah kategori yang
bisa kita jumpai dalam pemikiran-pemikiran berdimensi kebudayaan.
Tanpa bermaksud menafikan akibat yang ditimbulkan kabut asap, (untuk
menyebut sekadar kulit luar), seperti ISPU, ISPA, petani gagal panen,
sekolah libur, penerbangan lumpuh sehingga saya pun harus naik kapal di
Buton Riau untuk menuju Batam membutuhkan waktu 5 jam baru bisa menuju
semarang. Setidaknya untuk sampai kudus jawa tengah saya membutuhkan
waktu 8 jam.
Singkat kata hal ini menjadi dangkal dan tidak
memberikan bias pada makna dan hikmah bagi kita jika hanya memandang
secara parsial melalui ekonomi, kesehatan, politik, dan khususnya, kerja
birokrasi.
Bertolak dari hal itu, muncul sebuah pertanyaan
(kalau bukan kegelisahan), masihkah kita terus tumbuh hanya dengan
menggali banyak batu bara, menanam ribuan hektar kelapa sawit, mengeruk
tambang di kali-kali, dan menghisap gas dan minyak di perut bumi yang
semakin keriput.
Sementara di saat bersamaan, pencemaran
lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam telah menjadi
sumber bencana bagi kita saat ini.
Ini bukan karena Tuhan tidak
sayang kepada kita dengan adanya kabut asab yang oleh Pemerintahpun
"ndase ngelu" mengatasi soal kecil itu.
Saya yakin Pak Jokowi hampir
saja "gulung -gulung "karena mentok cari solusinya. Mbuk ya jangan
terlalu memberi beban berat kepada Pak Jokowi, beliau sudah kurus kalau
terlalu kita bebani nanti habis dagingnya tnggal tulang.
Hanya
karena keserakahan beberapa gelintir manusia, efek yang ditimbulkan bagi
kehidupan dan ekosistem lingkungan hidup menjadi terkoyak.
Mahatma
Gandi pun pernah berujar " Jika bumi ini diciptakan untuk mencukupi
kebutuhan hidup manusia niscaya cukuplah sudah, tapi jika bumi ini
diciptakan untuk memenuhi hasrat dan ambisi manusia maka tidak akan
pernah bisa bumi mencukupkannya".
Respon Cepat