Assiry gombal mukiyo, 12 Oktober 2015
Hari ini saya sedang perjalanan menuju Kab. Siak Pekanbaru Riau, untuk
menebar virus -virus Kaligrafi dan Seni Rupa di Masjid Agung Siak Riau.
"Buat apa kamu belajar kaligrafi terus mau kerja apa?" Kata -kata itu
masih sering terngiang direlung sudut fikiran saya, ketika tetangga,
teman dan siapa saja yang ketemu saya 17 tahun silam.
Saya hanya
bisa "nyengir" dan diam, kadang dipojok kamar saya hanya terisak dalam
tangis. Tapi dalam hati, saya berdoa semoga ini adalah langkah dari
Allah kepada saya untuk bisa berkiprah kedepan di dunia kaligrafi.
Sekarang sudah mulai terkuak atas jawaban dari pertanyaan -pertanyaan
yang berseliweran itu tanpa saya harus menjelaskannya.
Saya
"menyusu" ilmu kaligrafi kepada guru kaligrafi saya yang saya sebut
sebagai "Ibu kaligrafi saya" yang melahirkan saya dari rahim ilmu
kaligrafi yang sangat memberkahi hidup saya atas ijin dan kekuasaan-Nya
semata.
KH.Nur Aufa Shiidiq alm. Kudus adalah sebagai pendiri
sanggar kaligrafi Annur. yang pernah juara 1 MTQ Nasional Th.1988 dan
Juara 1 lomba Istiqlal tingkat Nasional di Masjid Istiqlal Jakarta.
Mungkin tidak banyak yang mengetahui sejarah panjang perjuangan beliau
dalam membumikan kaligrafi di Kudus dan indonesia pada umumnya. Karena
prinsip yang diembannya adalah bahwa sesuatu yang tidak tampak itu bukan
berarti stagnan dan tidak berbuat apa-apa. Buktinya memang banyak
tokoh yang tidak terkenal tapi kiprahnya bagai samudera.
Beliau
yang memperkenalkan kepada saya kaidah kaligrafi dari nol ( dasar) 1996
-2000 atas saran dari murid senornya Ustaz Haji. Nur Syukran Kudus. Tak
henti -hentinya setiap habis shalat saya tengadahkan doa untuk
keharibaan beliau. Guru yang menuntun saya, menyayangi saya, mengajarkan
saya banyak hal.
Saya meyakini betul inilah hasil hidmah saya
selama 4 th lamanya, saat masih belajar kepada KH.Nur Aufa Shiddiq alm.
Disuruh apa saja saya hanya "ngglundung semprong" artinya mengikuti saja
tanpa sedikitpun pernah saya membantah.
Misalnya satu conyoh saya
diperintahkan beliau begadang sampai subuh untuk berkarya membuat
kaligrafi styrofoarm, yah saya ikuti sampai tidak terasa hampir 3 th
saya tidak pernah merasakan enaknya tidur malam.
Setelah lulus
belajar di Sanggar Annur, pada Th 2000 pertengahan Saya pun melanjutkan
Syudy kaligrafi saya ke LEMKA Sukabumi 2000/2001. Pada th 2001 sampai
2003 saya gunakan untuk mengabdi ( hidmah ) dengan mukim di asrama
LEMKA. Seperti sebelumnya di Sanggar Annur, di LEMKA pun saya menuruti
apa saja yang diperintahkan KH.Didin Sirajuddin, disuruh "ngurusin"
santri dengan membantu mengajar ya saya jalankan tanpa pernah mengeluh,
meskipun saya juga belum bisa apa -apa sambil belajar. disuruh apa saja
yang berkaitan dengan kegiatan Pesantren LEMKA sedikitpun tidak pernah
saya hitung -hitung apakah ini rugi apa untung.
Barangkali ini
akan sulit bila dijalani para santri sekarang yang ingin mendapatkan
ilmu kaligrafi. Pokoknya kuncinya cuma "ngikut saja". Ini kan susah
apalagi Santri-santri jaman sekarang lebih cenderung mau disuruh asal
terlihat menguntungkan. Kalau dirasa rugi, membuat kurus kering, capek
dan semacamnya misalnya ya bisa jadi "ogah".
Jika ada 10 saja kriteria santri yang punya modal " ngikut" seperti itu saya yakin dunia kaligrafi akan diguncangkan olehnya.
Respon Cepat