Assiry gombal mukiyo, 15 Februari 2016
Pandangan nonadan ibu muda dalam rumah tangga saat ini kian hari
semakin memprihatinkan sehingga semakin sering saya mengelus dada saya
bukan dada mereka. Karena sebagian dari mereka menganggap bahwa memasak
di dapur, mengurus anak, mengurus dan membantu tugas suami, bersih
-bersih rumah, dan urusan sumur adalah bukan tugas mereka melainkan
tugas dari pembantu.
Celakanya, jika ada pria yang ingin menikah
dengan mencari tipe wanita yang seperti itu dengan kompak mereka
mengatakan" "Cari aja pembantu sono dan jangan cari istri ".
(Mengharukan berasa ingin jungkir balik).
Jika
anda ketemu model
perempuan yang seperti itu cukup didoakan semoga insyaf tapi jangan
dinikahi jangan juga anda "sumpahin" dengan sebuah doa dan harapan:
"Semoga Wanita kayak gitu akan sulit dapat jodoh. Andaikan menikah
juga, tak akan bertahan lama. Mereka akan menyesali sikapnya manakala
usianya sudah senja. Wajah dan kulit sudah keriput, kecut, semrawut,
kumut-kumut, serta penyakit stroke menerjangnya tanpa ada yang mau
membantunya. Sebab, mereka pasti akan hidup sendiri. Tanpa anak dan
tanpa suami. Kematiannya setara kematian seekor binatang." ( doa semacam
ini bukan untuk diaminkan).
Beberapa dari mereka justru lebih bangga bisa bekerja di kaffe, di Mall, di kantor -kantor, KFC dan semacamnya.
Atau mereka bekerja di Bank menganggap pekerjaannya itu lebih bergengsi
dari pada melayani suami dan mengurus anak -anaknya. Memasak makanan
dan kopi untuk manajernya itu karier, sedangkan membuatkan kopi untuk
suami itu tugas pembantu.
Memasak itu dipercayai sebagai salah satu
naluri kewanitaan. Bahkan, poin ini menjadi bagian identifikasi fungsi
tradisional perempuan. Menurut istilah Jawa ada tiga poin hal penting
dari peran perempuan yakni Masak/dapur, Manak/kasur, dan macak/pupur
atau bisa juga disebut Masak (pengabdian), manak (reproduksi), macak
(estetika).
Seorang istri yang tidak bisa memasak seperti
dianggap bukan perempuan sejati karena tidak mampu memenuhi hakikatnya.
Meskipun demikian tidak sedikit para ibu ini kerap berkelak bahwa
memasak bukan hanya tentang perempuan dengan membeberkan fakta sejumlah
chef ternama yang berjenis kelamin laki-laki. Masih beruntung karena
kepercayaan masyarakat bahwa memasak adalah naluri perempuan belum goyah
hingga kini.
Sungguh menjadi Ibu rumah tangga adalah pekerjaan
teramat mulia, tapi bukan berarti menjadi wanita karier adalah pekerjaan
yang hina. Asal bisa memposisikan diri kapan kerja dan kapan mengurus
anak dan suami dirumah, meskipun harus membutuhkan tenaga ekstra
tentunya.
Tidak mengapa jika menjadi wanita karier adalah pilihan
darurat untuk membantu kebutuhan rumah tangga asal tidak melupakan
perannya sebagai seorang Ibu bagi anak -anaknya dan kewajiban istri
bagi suaminya.
Dalam Islam pun tidak ada sebenarnya kewajiban
seorang istri untuk mencari nafkah. Tugas mencari nafkah adalah mutlak
tugas seorang suami. Tentu dengan pengecualian misalnya gaji suami yang
pas -pasan atau suami tidak bisa bekerja karena sakit keras dan
semacamnya.
Ketahuilah para ibu muda, karir tertinggi seorang
perempuan adalah ketika ia menjadi seorang Ibu. Setinggi apapun
jabatannya entah sebagai menteri ataupun presiden sekalipun. Mengurus
rumah tangga, mengurus anak, melayani dan membantu tugas suami
ketika membanting tulang dan bermandi keringat bahkan kadang nyawa jadi
taruhannya untuk mencari nafkah adalah termasuk devinisi dari kata ibu.
Betapa bahagianya ketika seorang perempuan bisa berfungsi sebagai ibu,
dipanggil anak -anaknya sebagai ibu, dihormati, dikasihi bak ratu
istilah jawanya "dipikul dhuwur dipendhem jero". Alangkah menderitanya
jika seorang ibu ketika masa senjanya dititipkan kepada seorang
pembantu, barangkali anak -anakny saat kecilpun juga demikian. Semuanya
menjadi setimpal bukan?
Semoga bukan efek dari emansipasi yang
kebablasan, karena pekerjaan dalam rumah tangga jauh lebih mulia,
bahkan dalam islam jaminan surga bagi istri yang berbakti untuk suami
dan keluarganya. Simple bukan ?
Respon Cepat