Selamat Datang di assiry.kaligrafi-masjid.com , kami ahlinya membuat kaligrafi masjid dan karya seni rupa yang lain, silakan anda lihat karya-karya kami, besar harapan bisa bekerja sama dengan anda.

assiry.kaligrafi-masjid.comadalah buah karya dari Muhammad Assiry Jasiri, seorang seniman dari kota Kudus. Sejak kecil, ia sudah terlihat bakatnya dalam bidang seni. Bakat tersebut semakin terasah seiring bertumbuh remaja di bawah bimbingan para guru kaligrafi ternama di Kudus. Kemudian ia hijrah ke Jakarta dan belajar ilmu seni rupa kepada kakak kandungnya, Rosidi. Kini, segudang prestasi kaligrafi telah ia raih baik di tingkat Nasional maupun di Asia tenggara (ASEAN). Sudah begitu banyak pula masjid/musholla, gedung, maupun kediaman pribadi yang sudah tersentuh goresan tangannya.

Melalui gubug online ini, kami berharap bisa memberi inspirasi anda dan dengan senang hati kami siap melayani semua kebutuhan akan seni rupa dan kaligrafi, desain artistik, serta beragam produk kerajinan khas Indonesia dengan desain eksklusif.

DUA TAHUN YANG LALU TENTANG DISKRIMINASI PENDIDIKAN

Assiry gombal mukiyo,2014
Selama ini nampak bahwa peran sekolah — disadari atau tidak — juga melegitimasi dominasi elit sosial, bahkan sekolah merupakan bagian dari kpentingan masyarakat untuk mempertahankan struktur sosial, stratifikasi sosial, dan melayani kelas sosial tertentu. Ini artinya sekolah merupakan salah satu bagian dari supra struktur masyarakat. Karenanya dapat dipahami jika kelompok masyarakat miskin adalah pihak yang paling susah mengikuti irama pendidikan. Meski penelitian di Amerika menunjukkan bahwa rata-rata IQ bayi berumur kurang dari dua tahun tidak ada perbedaan yang signifikan, baik antara orang kaya dan orang miskin.
Namun ketika proses membesarkan anak mulai berjalan, kekurangan gizi maupun sarana pendidikan, menjadikan anak dari golongan miskin makin jauh tertinggal. Orang kaya sanggup “menghadirkan” sekolah di rumahnya. Dipanggillah guru les piano, les bahasa Inggris, les komputer, les kaligrafi, les melukis ataupun membeli perlengkapan sekolah seperti buku, internet, atau jaringan komunikasi lainnya.
Umumnya anak-anak orang miskin bersekolah di lingkungan yang kumuh, terbelakang, dan akrab dengan kekerasan. Lingkungan yang tidak ramah, maupun karena rasa percaya diri (self confidence) yang rendah menjadikan anak miskin cenderung agresif, mudah terprovokasi, mudah tersinggung, apalagi jika dirangsang oleh tantangan di luar yang tidak adil.
Fenomena tersebut sangat bertentangan dengan teori dan gagasan tentang pendidikan multikultural. Kalau anak bersekolah sudah dikotak-kotak oleh batasan etnis, agama, kebudayaan, strata sosial, dan sebagainya, maka akan terjadi “pembutaan” mata batin dan wawasan pengetahuannya. Anak dikhawatirkan menjadi konservatif, fanatis sempit, dan mudah terprovokasi dalam konflik Padahal menurut Islam, pendidikan harus dimulai dari “muradan” berkehendak untuk iqro’ (alimul ghoib) dan berfikir, kemudian dilalui dengan “tarbiyah” kepengasuhan yang rahman dan rahim, untuk menumbuhkan manusia yang siap berjihad sosial (bekerja keras) agar fungsi kekhalifahannya maksimal.
Sayang, yang muncul adalah pendidikan transaksional yang berorientasi laba dan mencari keuntungan. Wajar bagi kaum muslimin yang berpendidikan kemudian tidak memiliki kemampuan jihad sosial. Pelampiasannya adalah menyombongkan diri dan merendahkan yang lain.
Yang terjadi adalah persaingan yang membabi buta, yang penting bisa kerja asal "nyogok" atau menyuap dan terjadi banyak ketimpangan-ketimpangan yang semakin memprihatinkan baik tawuran dan tindak kekerasan.
Close Menu