Assiry Gombal Mukiyo, 2016
Membaca
pesan singkat salah satu Dosen di Sebuah Perguruan tinggi bergengsi di
Indonesia Bpk.Bahrul Fuad dengan salah satu Mahasiswinya,
Saya kok
sangat gusar dan semakin gelisah apakah Etika Mahasiswa di Kampus-Kampus
yang kita bangga -banggakan selama ini sudah sedemikian buruknya.
Sehingga "tepo sliro, unggah-ungguh, sopan santun, akhlaq" atau attitude
Mahasiswanya menjadi kering.
Ketika
di pesantren dulu para santri diwajibkan ngaji Kitab Ta'lim Muta'alim
yang ditulis oleh Syeih Burhanuddin Az-Zarnuji, sebuah Kitab tuntunan
bagi para pencari ilmu. Salah satu pasalnya tentang Fashl fii ta'dhimil
ilmi wa ahlihi (pasal tentang menghargai ilmu dan guru).
Bahkan
di PSKQ Modern Kajian Kitab ini menjadi Kajian wajib setiap hari selain
hari Jumat karena libur. Jika Santri yang memilki indikasi akhlaq atau
attitude yang buruk pasti akan mendapatkan sanksi sesuai kadar
kesalahannya jika fatal pun bisa jadi dikeluarkan. Pun juga demikian
jika seorang Guru melakukan kesalahan bisa saja diberhentikan berdasar
tingkat kesalahannya, jika memang fatal.
SMS
di atas adalah potret murid atau Mahasiswa di era masa kini. Kala masih
kuliah S1 dulu, beberapa teman aktifis mengkritik bahwa Kitab Ta' lim
Muta'alim tidak relevan dengan sistem belajar-mengajar di era modern
yang berlaku di Universitas. Mereka menuduh bahwa ajaran dalam Kitab
tersebut berpotensi membelenggu kebebasan berfikir dan daya kritis
mahasiswa.
Jika
diperlukan boleh Seorang Murid, Mahasiswa atau Santri Mengkritik Gurunya
tetapi harus dengan cara yang santun dan elegan.Ini yang nyaris
dilupakan.
Namun
hingga sekarang ini saya tetap konsisten mengamalkan ajaran Kitab
Ta'lim Muta'alim dan saya dawamkan di PSKQ Modern sebagai materi wajib.
bahkan
ketika belajar di Kampus S2 pun saya tetap mengamalkan ajaran tersebut,
menghormati dosen dan professor saya layaknya para Ustad saya di
pesantren. Begitu juga terhadap para Professor dan Dosen. Ada satu hal
yang tidak dimiliki oleh sistem belajar modern saat ini yaitu "barokah
ilmu".
Salah
satu syarat mendapatkan keberkahan ilmu adalah menghormati guru dengan
baik dengan menjaga sikap, prilaku dan ucapan sehingga tidak menjadikan
Ustaz, Doktor, Profesor tersebut tersinggung dengan apa yang kita
ucapkan dan kita perbuat.
Jika
Bpk. Bahrul Fuad mengalami hal yang demikian, sering juga saya
mengalami ketika beberapa orang yang entah siapa saya tidak kenal tiba
-tiba seperti memaksa dengan inbok melalui fb, BBM, WA atau ngetag
gambar di Medsos meminta mengoreksi karya kaligrafinya atau apapun itu.
Padahal
sebenarnya Seseorang yang ingin belajar dengan cara yang baik dan
bermanfaat itu harus menemui seorang Guru secara langsung terlebih
dahulu.
Inilah yang menghubungkan sanad keilmuwan kita.
20
orang lebih Guru -guru Kaligrafi saya datangi langsung dan bisa sungkem
dengan harapan mendapatkan Ridhonya. Hal inipun masih saya jalani
hingga saat ini sejauh apapun tempatnya. Karena dengan Ridho Guru semata
ilmu akan mengalir dengan keberkahan yang diberikan Allah.
Setelah
ketemu, baru seorang Murid akan mengikuti apapun arahan Gurunya. Entah
apakah bisa tashih langsung atau koreksi kaligrafi dengan media online
atau media lainnya. Tentu harus diikuti oleh seorang Murid dengan
khidmat. Shilaturrahim dan pertemuan antara Guru dan Murid adalah
menjadi pintu pembuka keberkahan ilmu.
Saya
juga prihatin karena tidak sedikit pembelajar Kaligrafi yang comot
sana, comot sini belajar dengan cara ngacak berguru dengan sistem kutu
loncat, kemudian setelah mendapat prestasi tiba -tiba ditanya oleh orang
lain " Belajar Kaligrafinya dimana Ustaz ko bisa bagus dan
Juara?"....Mereka menjawab dengan bangganya "Saya Otodidak Kok !!".
Inilah bentuk keangkuhan atau kurangnya attitude dan penghargaan
terhadap seorang Guru yang dikesampingkan. Padahal tanpa seorang Guru
tentu tidak mungkin tiba-tiba bagus kaligrafinya hingga berprestasi
tinggi.
Melihat
fenomena kelakuan Santri, mahasiswa dan para pencari ilmu abad Modern
ini, Saya jadi bingung, siapa yang sebenarnya butuh ketemu ?
Respon Cepat