Assiry gombal mukiyo, 2016
Beberapa waktu lalu saya secara tidak
sengaja mampir di pemakaman Sedo Mukti, Desa Kaliputu, Kudus, Jawa
Tengah. Untuk berziarah ke Makam Eyang Sosrokartono. Di sebelah kirinya
terdapat makam Ibunya Nyai Ngasirah dan Bapaknya RMA Sosroningrat.
Di dinding pagar besi di makam SosroKartono tersebut, terpasang tulisan
huruf Alif dalam bingkai kaca seukuran 10R. Di bawahnya terdapat foto
SosroKartono mengenakan setelan jas ala orang Barat. Di nisan sebelah
kiri, tercantum kata- kata terpilih dari SosroKartono: Sugih tanpa
banda, digdaya tanpa aji. Di nisan sebelah kanan tercantum kalimat:
Trimah mawi pasrah (qanaah dan ikhlas ), suwung pamrih tebih ajrih
(kosong dari pamrih dan kepentingan individu dan jauh dari rasa takut),
langgeng tan ana susah tan ana bungah (tetap tenang, meskipun dalam
keadaan duka maupun suka), anteng manteng sugeng jeneng (istiqamah
sungguh-sungguh, maka akan mulia).
Meski separuh lumpuh,
Kartono–begitu RA Kartini dan adik-adiknya memanggil–masih menerima
ratusan tamu yang datang dengan berbagai kepentingan, mulai dari sekadar
meminta nasihat, belajar bahasa asing, hingga mengobati berbagai macam
penyakit.
SosroKartono mangkat pada 1952, tanpa meninggalkan istri dan anak setelah separuh badan Kartono lumpuh sejak 1942.
Air putih, huruf Alif, nasihat-nasihat hidup yang ia tulis dalam bahasa
Jawa, dan laku berpuasa berhari-hari ( Puasa Dalail) adalah bagian dari
“wajah mistik” Sosrokartono. Jika tak berpuasa, ia jarang makan. Ia
hanya minum air kelapa.
Luar biasa, Ia adalah orang Indonesia
pertama yang terjun ke medan peperangan di Perang Dunia I di Eropa
sebagai wartawan. Selama 29 tahun, Sosrokartono lebih dikenal sebagai
seorang intelektual yang disegani di Eropa. Ia kerap dipanggil dengan
sebutan De Javanese Prins (Pangeran dari Tanah Jawa) atau De Mooie Sos
(Sos yang Tampan).
Inilah yang menginspirasi saya dan sekaligus
meneladankan saya untuk terus puasa Sunnah Dalail yang juga diikuti oleh
Santri -Santri PSKQ Modern hingga sekarang ini.
Hal ini yang
membuat saya sesenggukan, menangis didepan makamnya. Karena Sosrokartono
adalah tokoh besar juga seorang Kaligrafer bahkan setiap pasiennya yang
datang selalu diberikan air putih dan memberikan goresan alif (
Singkatan lafaz Allah) pada secarik kertas setiap ada yang berobat
kepadanya bahkan Pak Karno juga pernah dikasih coretan alif tersebut
yang disimpan didalam lipatan pecinya.
Menarik sekali, Beliau
menjadikan setiap huruf -huruf dari Al Quran begitu bermanfaat dan
menemukan setiap sari manfaatnya untuk penyembuhan penyakit. Banyak
orang yang mengerti bahwa Al Quran diturunkan sebagai "Syifaun" sebagai
obat dan "rahmatun" sebagai rahmat, tetapi tidak mengerti bagaimana
caranya. Inilah hebatnya Sosrokartono yang banyak tidak diketahui orang.
Ia memahami detail manfaat setiap kandungan Al Quran bahkan hanya
dengan memberinya coretan goresan alif pada sebuah kertas dan air putih
banyak yang berhasil disembuhkannya. Masya Allah tentunya ini adalah
kelebihan yang Allah berikan kepada Sosrokartono.
Pramoedya
Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja (Hasta Mitra, Jakarta, 1997)
menggambarkan kelebihan Kartono sebagai spritualis itu. Pram mengutip
kesaksian seorang dokter Belanda di CBZ (kini RS Dr Cipto Mangunkusumo,
Jakarta) pada 1930-an. Ia menyaksikan Kartono menyembuhkan wanita
melahirkan yang menurut para dokter tak tertolong lagi, tapi sembuh
setelah minum air putih yang diberikan Kartono.
Kaum bangsawan di
Belanda menjulukinya Pangeran dari Tanah Jawa. Raden Mas Panji
Sosrokartono, kakak R.A. Kartini, selama 29 tahun, sejak 1897,
mengembara ke Eropa. Ia bergaul dengan kalangan intelektual dan
bangsawan di sana. Mahasiswa Universitas Leiden itu kemudian menjadi
wartawan perang Indonesia pertama pada Perang Dunia I.
Ia
mengembara ke beberapa negara. Mula-mula ia belajar di Delft, Belanda,
lalu pindah ke Universitas Leiden, bergaul dengan kalangan bangsawan
Eropa, kemudian menjadi wartawan perang. Ia juga pernah menjadi staf
Kedutaan Besar Prancis di Den Haag, bahkan sempat menjadi penerjemah
untuk Liga Bangsa-Bangsa. Kartono pada akhirnya memutuskan pulang ke
Indonesia mendirikan perpustakaan dan sekolah. Seperempat abad sisa
umurnya kemudian ditambatkan sebagai seorang spiritualis.
Beliau
lebih terkenal dipanggil Kartono. Ia adalah seorang intelektual yang
menguasai 17 bahasa asing itu, yang mudah diterima kalangan elite di
Belanda, Belgia, Austria, dan bahkan Prancis. Ia berbicara dalam bahasa
Inggris, Belanda, India, Cina, Jepang, Arab, Sanskerta, Rusia, Yunani,
Latin. Bahkan, “Ia juga pandai berbahasa Basken (Basque), suatu suku
bangsa Spanyol,” kata Hatta dalam bukunya.
Sosrokartono
(1877-1952) adalah adik kandung Boesono. Keduanya adalah kakak RA
Kartini, pahlawan emansipasi wanita yang setiap tanggal 21 April selalu
dirayakan di seluruh pelosok Indonesia. Mereka adalah anak Bupati Jepara
Raden Mas Adipati Ario Samingoen Sosroningrat untuk periode 1880-1905
dari perkawinannya dengan Ngasirah. Pasangan ini memiliki delapan anak.
Kartini Pudjiarto adalah cucu Boesono yang masih cucu keponakan dari
Sosro Kartono.Ia masih menyimpan lukisan sederhana berbingkai kayu yang
berisi goresan Alif di kertas putih pemberian Eyang Sosro.
Ada pula
secarik kertas putih yang berisi nasihat Eyang Sosrokartono bertulisan
“Sugih tanpa banda / Digdaya tanpa aji / Nglurug tanpa bala / Menang
tanpa ngasorake” (Kaya tanpa harta/ Sakti tanpa azimat/ Menyerbu tanpa
pasukan/ Menang tanpa merendahkan yang dikalahkan) yang ditempel dengan
selotip di dinding. Ia juga menyimpan tongkat Kartono, yang merupakan
jatah warisan keluarga yang dibagi-bagi setelah sang eyang meninggal.
Foto hitam putih seukuran kartu pos itu masih ia simpan rapi. Saat itu
Kartini Pudjiarto masih umur delapan tahun. Ia bersama ibunya RA Siti
Hadiwati dan kakeknya PAA Sosro Boesono berfoto bersama RM Panji
Sosrokartono di rumah pengobatan Darussalam di Jalan Pungkur 7, Bandung,
milik Sosrokartono.
Foto yang menjadi koleksi tak ternilai Kartini
Pudjiarto itu dipotret pada 1950, dua tahun menjelang Sosrokartono
wafat. Eyang Sosro, begitu Kartini memanggil, duduk di sebuah kursi.
“Eyang Sosro lebih sering duduk di kursi, karena separuh tubuhnya sudah
lumpuh".
Di Indonesia, Sosrokartono pernah mendirikan
sekolah dan perpustakaan. Ia juga membuka rumah pengobatan Darussalam di
Bandung. Selama 29 tahun ia hidup melanglang Eropa. Di Bandung ia
mendirikan perpustakaan, rumah pengobatan, dan dicap komunis.
Pengobatan
Darussalam beralamat di Jalan Pungkur 7, Bandung, milik Sosrokartono.
Suryatini Ganie, cucu RA Sulastri Tjokrohadi Sosro, kakak seayah
Sosrokartono, menggambarkan kelebihan Kartono yang juga kakeknya itu
sebagai orang yang mudah sekali menebak pikiran orang. Menurut pengarang
buku Resep-resep Kartini ini, Eyang Sosro cenderung menyendiri, jauh di
Bandung, dibanding berkumpul dengan keluarga yang tersebar di Jawa
Tengah.
Rumah pengobatan Pondok Darussalam milik Sosrokartono
merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu dengan dinding bambu.
Kini bangunan itu sudah tidak ada lagi. Penghuninya sudah berganti,
begitu juga nomor rumahnya, yang sudah memakai nomor baru yang dipakai
sejak 1960-an. Pemilik ruko yang menempati Jalan Pungkur 3, 5, 7, 9
ketika ditanya tidak tahu bahwa di jalan itu pernah ada pondok
pengobatan milik Sosrokartono. Mendengar cerita Kayanto, pondok
pengobatan milik Kartono diperkirakan menempati deretan bangunan yang
kini sudah berubah menjadi toko listrik, swalayan di Gedung Mansion,
serta sebuah apotek yang terletak di sudut Jalan Pungkur dan Jalan Dewi
Sartika.
Darussalam, selain menjadi rumah pengobatan, juga
sebuah perpustakaan. Kartono dalam suratnya kepada Abendanon pada 19
Juli 1926 (Surat- surat Adik R.A. Kartini terbitan PT Djambatan 2005)
menceritakan selain mendirikan perpustakaan Panti Sastra di Tegal
bersama adiknya, RA Kardinah, ia juga mendirikan perpustakaan di
Bandung. “Perpustakaan ini tidak disebut dengan nama yang lazim
melainkan merupakan lambang dari suatu pengertian baru, suatu cita-cita
baru. Namanya Darussalam, yang berarti rumah kedamaian.
Buku-buku perpustakaan itu disumbang oleh dua orang insinyur perusahaan
kereta api Staats Spoorwegen, tiga orang partikelir bangsa Belanda, dua
orang wanita Belanda, tiga orang Jawa, dan seorang Tionghoa.
“Semboyannya tanpo rupo tanpo sworo, yang berarti tidak berwarna, tiada
perbedaan, tiada perselisihan,” ucap Kartono.
Terkalu kecil jika saya bercerita tentang Sosro Kartono, sangat
menginspirasi. Kecerdasannya yang sangat luar biasa serta
kecenderungannya yang concern dibidang pengobatan dan Pendidikan bersama
Ki Hajar Dewantara, ikut andil dalam pergerakan kemerdekaan, mengabdi
untuk kemanusiaan dan kerakyatan dan cinta pada tanah airnya menjadikan
Ia sebagai sosok teladan yang susah tergantikan bahkan seribu tahun
lagi. Tetapi ironi ia begitu dikesampingkan bahkan nyaris dilupakan oleh
negeri ini.
Respon Cepat