Assiry gombal mukiyo, 2013.
Perbedaan
Muhammadiyyah dulu dan Muhammadiyyah yang sekarang sangat mencolok.Bahkan hal
ini tidak disadari oleh para pengikut Muhammadiyyah diwilayah Nusantara ini.
Mereka kurang memahami siapa Kyai Dahlan itu sendiri. Tulisan ini hendak
mempertegas tulisan yang telah lalu berjudul “Sejarah Awal Muhammadiyah yang
Terlupakan”, dimana banyak dari kita belum tahu atau sengaja melupakan sejarah
awal Muhammadiyyah yang sebenarnya. Pertanyaannya adalah Ada apa dengan
Muhammadiyyah yang sekarang ?apakah betul ajaran -ajaran Syeikh Ahmad Dahlan
justru mulai diabaikan bahkan ditinggalkan?
Mari kita simak, biar yang mengaku Muhamadiyah tahu
sejarahnya sendiri.
Secara ringkas dan gamblang saja bahwa, KH.Ahmad
Dahlan (pendiri Muhammadiyyah pada 18 November 1912/8 Dzull Hijjah 1330) dengan
KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU pada 31 Januari 1926/16 Rajab 1344) adalah satu
sumber guru dengan amaliah ubudiyah yang sama. Bahkan keduanya pun sama-sama
satu nasab dari Maulana ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Berikut kita kutip kembali ringkasan “Kitab Fiqih
Muhammadiyyah”, penerbit Muhammadiyyah Bagian Taman Poestaka Jogjakarta, jilid
III, diterbitkan tahun 1343 H/1925 M, dimana hal ini membuktikan bahwa amaliah
kedua ulama besar di atas tidak berbeda:
- Niat
shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha...” (halaman 25).
- Setelah
takbir membaca: “Allahu Akbar Kabiran Walhamdulillahi Katsira...” (halaman 25).
- Membaca
surat al-Fatihah memakai bacaan: “Bismillahirrahmanirrahim” (halaman 26).
- Setiap
shalat Shubuh membaca doa Qunut (halaman 27).
- Membaca
shalawat dengan memakai kata: “Sayyidina”, baik di luar maupun dalam shalat
(halaman 29).
- Setelah
shalat disunnahkan membaca wiridan: “Istighfar, Allahumma Antassalam,
- Subhanallah
33x, Alhamdulillah 33x, Allahu Akbar 33x” (halaman 40-42).
- Shalat
Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam (halaman 49-50).
- Tentang
shalat & khutbah Jum’at juga sama dengan amaliah NU (halaman 57-60).
KH.Ahmad
Dahlan sebelum menunaikan ibadah haji ke tanah suci bernama Muhammad Darwis.
Seusai menunaikan ibadah haji, nama beliau diganti dengan Ahmad Dahlan oleh
salah satu gurunya, as-Sayyid Abubakar Syatha ad-Dimyathi, ulama besar yang
bermadzhab Syafi’i.
Jauh sebelum menunaikan ibadah haji, dan belajar
mendalami ilmu agama, KH.Ahmad Dahlan telah belajar agama kepada asy-Syaikh
KH.Shaleh Darat Semarang.KH.Shaleh Darat adalah ulama besar yang dikenal
linuwih.Bagi kalangan nahdliyyin beliau adalah seorang waliyullah.yang telah
bertahun-tahun belajar dan mengajar di Masjidil Haram Makkah.
Di pesantren milik KH.Murtadha (sang mertua),
KH.Shaleh Darat mengajar santri-santrinya ilmu agama, seperti kitab al-Hikam,
al-Munjiyyat karya beliau sendiri, Lathaif ath-Thaharah, serta beragam ilmu
agama lainnya.Di pesantren ini, Mohammad Darwis ditemukan dengan Hasyim
Asy’ari.Keduanya sama-sama mendalami ilmu agama dari ulama besar Syaikh Shaleh
Darat.
Waktu itu, Muhammad Darwis berusia 16 tahun,
sementara Hasyim Asy’ari berusia 14 tahun.Keduanya tinggal satu kamar di
pesantren yang dipimpin oleh Syaikh Shaleh Darat Semarang tersebut. Sekitar 2
tahunan kedua santri tersebut hidup bersama di kamar yang sama, pesantren yang
sama dan guru yang sama.
Dalam keseharian, Muhammad Darwis memanggil Hasyim
Asy’ari dengan panggilan “Adik Hasyim”.Sementara Hasyim Asy’ari memanggil
Muhammad Darwis dengan panggilan “Mas atau Kang Darwis”.
Selepas nyantri di pesantren Syaikh Shaleh Darat,
keduanya mendalami ilmu agama di Makkah, dimana sang guru pernah menimba ilmu
bertahun-tahun lamanya di Tanah Suci itu. Tentu saja, sang guru sudah membekali
akidah dan ilmu fikih yang cukup. Sekaligus telah memberikan referensi
ulama-ulama mana yang harus didatangi dan diserap ilmunya selama di Makkah.
Puluhan ulama-ulama Makkah waktu itu berdarah
Nusantara.Praktek ibadah waktu itu seperti wiridan, tahlilan, manaqiban,
maulidan dan lainnya sudah menjadi bagian dari kehidupan ulama-ulama
Nusantara.Hampir semua karya-karya Syaikh Muhammad Yasin al-Faddani, Syaikh
Muhammad Mahfudz at-Turmusi dan Syaikh Khaathib as-Sambasi menuliskan tentang
madzhab Syafi’i dan Asy’ariyyah sebagai akidahnya.Tentu saja, itu pula yang
diajarkan kepada murid-muridnya, seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari,
KH. Wahab Hasbullah, Syaikh Abdul Qadir Mandailing dan selainnya.
Seusai pulang dari Makkah, masing-masing
mengamalkan ilmu yang telah diperoleh dari guru-gurunya di Makkah.Muhammad
Darwis yang telah diubah namanya menjadi Ahmad Dahlan mendirikan persarikatan
Muhammadiyyah.Sedangkan Hasyim Asy’ari mendirikan NU (Nahdlatul
Ulama).Begitulah persaudaraan sejati yang dibangun sejak menjadi santri Syaikh
Shaleh Darat hingga menjadi santri di Tanah Suci Makkah.Keduanya juga
membuktikan, kalau dirinya tidak ada perbedaan di dalam urusan akidah dan
madzhabnya.
Saat itu di Makkah memang mayoritas bermadzhab
Syafi’i dan berakidahkan Asy’ari.Wajar, jika praktek ibadah sehari-hari
KH.Ahmad Dahlan persis dengan guru-gurunya di Tanah Suci.Seperti yang sudah
dikutipkan di awal tulisan, semisal shalat Shubuh KH.Ahmad Dahan tetap
menggunakan Qunut, dan tidak pernah berpendapat bahwa Qunut sholat subuh Nabi
Muhammad SAW
adalah Qunut Nazilah.Karena beliau sangat memahami ilmu hadits dan juga
memahami ilmu fikih.
Begitupula Tarawihnya, KH. Ahmad Dahlan praktek
shalat Tarawihnya 20 rakaat. Penduduk Makkah sejak berabad-abad lamanya, sejak
masa Khalifah Umar bin Khattab Ra., telah menjalankan Tarawih 20 rakaat dengan
3 witir, sehingga sekarang. Jumlah ini telah disepakati oleh sahabat-sahabat
Nabi Saw.Bagi penduduk Makkah, Tarawih 20 rakaat merupakan ijma’ (konsensus
kesepakatan) para sahabat Nabi Saw.
Sedangkan penduduk Madinah melaksanakan Tarawih
dengan 36 rakaat.Penduduk Makkah setiap pelaksanaan Tarawih 2 kali salaman,
semua beristirahat. Pada waktu istirahat, mereka mengisi dengan thawaf sunnah.
Nyaris pelaksanaan shalat Tarawih hingga malam, bahkan menjelang Shubuh.Di sela-sela
Tarawih itulah keuntungan penduduk Makkah, karena bisa menambah pahala ibadah
dengan thawaf.Maka bagi penduduk Madinah untuk mengimbangi pahala dengan yang
di Makkah, mereka melaksanakan Tarawih dengan jumlah lebih banyak.
Jadi, baik KH.Ahmad Dahlan dan KH.Hasyim Asy’ari
tidak pernah ada perbedaan di dalam pelaksanaan ubudiyah. Bahkan Ketua PP.
Muhammdiyah sendiri , Yunahar Ilyas pernah menuturkan: “KH. Ahmad Dahlan pada
masa hidupnya banyak menganut fiqh madzhab Syafi’i, termasuk mengamalkan Qunut dalam
shalat Shubuh dan shalat Tarawih 23 rakaat.Namun anehnya setelah berdirinya
Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan KH. Mas Manshur, terjadilah
revisi-revisi, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak
dipraktekkan lagi doa Qunut di dalam shalat Shubuh dan jumlah rakaat shalat
Tarawih pun sekarang berubah menjadi sebelas rakaat.”
Sedangkan jawaban enteng yang dikemukan oleh dewan
tarjih saat ditanyakan: “Kenapa ubudiyyah (praktek ibadah) Muhammadiyyah yang
dulu dengan sekarang berbeda?” Alasan mereka adalah karena “Muhammadiyyah bukan
Dahlaniyyah”.Ini yang menurut saya sangat aneh, padahal jelas dan sudah
paten bahwa yang mendirikan Muhammadiyyah
adalah Ahmad Dahlan.
Masihkah diantara kita yang gemar mencela dan
mengata-ngatai amaliah-amaliah Ahlussunnah wal Jama’ah Nahdlatul Ulama sebagai
amalan bid’ah, musyrik dan sesat?
Masih pantaskah mereka yang mengatas namakan kaum muhammadiyyah
tapi tidak meniru amalan ubudiyyah dan fiqih Ahmad Dahlan.
Jadi Muhammadiyyah yang sekarang ini aliran apa lagi
?
Sudahlah saya juga tidak terlalu penting buat saya
toh saya bukan Muhamadiyyah dan juga bukan Nahdliyyin.
Lha wong saat saya nanya Kanjeng Nabi tentang keberadaan Nu dan
Muhammadiyyah,kanjengNabi Muhammad malah menjawab " aku malah ngga tau itu
apa NAHDLATUL ULAMA. lha Muhammadiyyah itu juga apa ko malah nama saya yang
dibawa-bawa jadi nama ormas. Aku
itu taunya ya Islam yang rahmatan lilalamin,kan sampean sudah jelas to mas, aku di utus Allah untuk
menyempurnakan akhlak manusia, lha wong cuma soal gitu aja ko ribut. Mana akhlak dulu yang aku ajarkan kepada kalian semua agar
saling menghargai dan menghormati setiap apapun
perbedaan.Yo to mas?"
Saya hanya bisa menunduk dan sesekali menyeka air mata mendengar kesaksian
kanjeng Nabi,seakan hati ini meronta-ronta dan jiwa membeku dan kelu melihat
ini semua.
Respon Cepat