Assiry gombal mukiyo, 14 Juli 2015
Pemahaman dangkal kita yang gila harta tentang lalilatul qadar itu ya
kalau tiba-tiba ada sekeranjang uang di rumah yang entah darimana
datangnya stelah berdoa. Itu lho lailatul qadar.
Secera essensi
lailatul qadar itu bisa terjadi kapan saja, dan pada malam apa saja.
Karena lailatul qadar adalah sebuah titik yang dimensional Allah, yang
dimana ketika manusia berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendekat
kepada titik tersebut, maka ia akan qabul, artinya Allah akan
mengabulkan apa yang ia inginkan. Tidak harus "melek’an" semalaman untuk
mendapatkannya. Tetapi hatimulah yang harus selalu melek kepada Allah.
Seringkali
masalah kapan lailatul Qadar itu diperdebatkan.Bagi saya yang penting
adalah beribadah (dalam arti sempit maupun luas)
kapan saja, dimana saja dan kepada siapa saja berbuat baik tanpa
melihat apapun baik agama, ras, warna kulit dan perbedaan budaya.
Saya sedikit berpikir nakal (melihat efek kabar tentang lailatul qadar
dari para da'i di TV, ternyata membuat orang beribadah hanya pada waktu
-waktu tertentu. Lha wong ibadah ko pilih-pilih waktu) hanya karena
menduga -duga bahwa malam ini, dan malam itu adalah prediksi datangnya
lailatul qadar. Celakanya dikhawatirkan Ibadah kita menjadi pamrih
karena lailatul qadar bukan karena Allah. Padahal konteksny jelas
carilah ridho Allah tentu Allah me-lailatul Qadarkan hidup kita,
mensurgakan hidup kita. Mudah bukan?
Tapi kalau lailatul qadar yang kita kejar itu belum tentu kita dapat ridho Allah apalagi ko dapat Surga Allah.
Lailatul Qadar tidak perlu dicari. Tapi carilah rahmat dan ridhoNya
dengan menyiapkan diri untuk mensucikan diri. Makanya kenapa peristiwa
malam isra mi'rajnya kanjeng Nabi itu dalam Quran Surat Bani Israil ayat
pertama berbunyi “Subhannaladzi asro bi’abdihi artinya maha suci Allah
yang telah memperjalankan hambaNya di malam hari.
Apakah dalil
perjalanan di malam hari itu hanya dikhususkan untuk peristiwa Isra’
Mi’raj Kanjeng Nabi saja? Dalam suatu hadist qudsi pernah diriwayatkan
bahwasanya sesungguhnya setiap muslim yang taat pada saat menjalani
sholat lima waktu berarti sedang menjalani isra’ mi’rajnya kepada Allah,
dalam pengertian khusus tentunya. Apakah dengan demikian dapatlah
dikatakan setiap muslim juga menjalani perjalanan di malam hari di
setiap keseharian hidupnya? Hidup adalah sebuah perjalanan di malam
hari.
Maka teramat logis juga di penghujung Surat Al Qodar, Allah
menitahkan“Salaamun hiya hatta math’lail fajr”. Semoga engkau selamat
hingga menjelang fajar. Bukankah ini mengindikasikan bahwa Tuhanpun
bahkan mendoakan hambanya agar dalam menjalani perjalanan malamnya dapat
melewatinya dengan selamat hingga terbitnya fajar menuju kehidupan di
siang hari. Artinya ketika Manusia melewati kubangan dan dosa yang
menggelapi hidupnya niscaya Tuhan selalu merahmati dengan cahaya hidayah
agar mampu dan sanggup melewati malam mrnuju fajar ( hijrah ilallah)
menuju terang benderang cahayaNya( kesucian).
Pertanyaannya, Apakah
kita bersedia menerima lailatul Qadar itu sehingga sanggup meninggalkan
segala nafsu yang me-lail-kan (menggelapkan) jiwa kita.
Sesungguhnya yang sepenuhnya harus kita urus dalam ‘menyambut’ Lailatul
Qadar adalah Reciever Spiritual kita sendiri untuk mungkin menerima
Lailatul-Qadar. Kesiapan Diri kita. Kebersihan Jiwa kita. Kejernihan Ruh
kita. Kepenuhan Iman kita. Totalitas iman dan kepasrahan kita. Itulah
yang harus kita maksimalkan.
Lail yang berarti malam gelap atau
sepi, dimana seorang hamba bisa menyepikan hatinya, mensunyikan hatinya
dari pengaruh-pengaruh makhluk sehingga hatinya benar-benar bersih hanya
memandang Sang Pencipta, maka saat itulah hakikatnya lailatul qodar.
Karena dia lebur kedalam kemuliaanNYA. Saat kegelapan hatinya dicahayai
oleh Nur Sang Hyang Perkasa.
Kalau lampumu tak bersumbu dan tak
berminyak, jangan bayangkan api. Kalau gelasmu retak, jangan mimpi
menuangkan minuman. Kalau mentalmu rapuh, jangan rindukan rasukan tenaga
dalam. Kalau kaca jiwamu masih kumuh oleh kotoran-kotoran dunia, jangan
minta cahaya akan memancarkan dengan jernih atasmu.
Jadi,
bertapalah dengan puasamu, bersunyilah dengan i’tikafmu, mengendaplah
dengan lapar dan hausmu. Membeninglah dengan rukuk dan sujudmu. Puasa
mengantarkanmu sesungguhnya menjauhkanmu dari kefanaan dunia, sehingga
engkau mendekat ke alam spiritualitas. Puasa menanggalkan barang-barang
pemberat pundak, nafsu-nafsu pengotor kalbu yang bertumpuk -tumpuk penuh
syahwat, serta pemilikan-pemilikan penjerat kaki kesurgaanmu untuk kita
lailatul Qadarkan. Sehingga Para Malaikat diturunkan dan bersemayam
ikut menuntun kalbu dan langkah kita menuju Tuhan dengan ridha dan di
ridhoi ( radhiyyatan mardhiyyatan).
Dengan demikian derajat hidup kita disisi Allah lebih berharga dan lebih baik dari seribu bulan bahkan jutaan bulan sekalipun.
Respon Cepat