Assiry Gombal Mukiyo, 19 Juni 2016
Gereja Yakobus Zebedeus, Pudak Payung, yang mengundang Sinta Nuriyah
Abdurrahman Wahid untuk berbuka puasa bersama dengan beberapa tokoh
Katolik Semarang menjadi saksi bisu terkoyaknya hubungan kerukunan antar
lintas agama.
Acara buka bersama istri Gus Dur ini digelar di
halaman Gereja Yakobus Zebedeus Pudak Payung. Namun, belum juga bukber
terlaksana, Front Pembela Islam (FPI) Jawa Tengah dan ormas-ormas
lainnya sudah melayangkan protes dan demo berjamaah.
Saya melihat
pelarangan buka puasa di Gereja itu menunjukkan betapa kerdilnya jiwa
mereka. Jiwa kerdil seperti ini sesungguhnya membahayakan "akal publik".
Pemerintah dan elemen masyarakat sipil tak perlu takut melawan
jiwa-jiwa seperti itu, seperti halnya praktek perlawanan yang dilakukan
oleh bu Sinta dalam acara tersebut.
Rasulullah SAW. bahkan
memberi makan kepada seorang yahudi yang buta di Pasar yang kerjaannya
bahkan setiap hari menganjingkan, mengumpat, memfitnah Rasulullah hingga
beliau menjelang wafat. Setelah Rasulullah wafat, tak ada lagi orang
yang membawakan makanan setiap pagi dan yang menyuapi orang Yahudi yang
buta itu.
Setelah Rasulullah SAW.wafat Abu Bakar melanjutkan wasiat
yang dipesankan oleh Putrinya Aisyah agar pergi ke pasar dengan membawa
makanan untuk diberikan kepada yahudi itu.
Ketika Abu Bakar mulai
menyuapinya, tiba-tiba yahudi itu marah sambil berteriak: “Siapa kamu!”
Abu Bakar menjawab: “Aku orang yang biasa“. “Bukan! Engkau bukan orang
yang biasa mendatangiku.” sahut yahudi buta itu.
Abu Bakar yang mendengar jawaban Si Yahudi buta itu kemudian menangis sambil berkata:
“Aku memang bukan yang biasa datang kepadamu. Aku adalah salah seorang
dari sahabatnya. Orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad,
Rasulullah saw. yang sering anda maki dan fitnah, anda anjing-anjingkan
itu”
Setelah seorang yahudi itu mendengar cerita Abu Bakar, yahudi
itu pun menangis dan kemudian berkata “Benarkah demikian?”, tanya
yahudi, kepalanya tertunduk dan air matanya mulai menetes.
“Selama
ini aku selalu menghinanya, menganjingkannya, dan memfitnahnya”,
lanjutnya. Tetapi ia tidak pernah marah kepadaku, sedikitpun!”, ucap
Yahudi sambil menangis terisak.
“Ia selalu mendatangiku, sambil
menyuapiku dengan cara yang sangat lemah lembut…” sambil menahan
kesedihan… namun akhirnya dia pun menangis dan bersyahadat memeluk
islam.
Bukankah Rasulullah saja berperilaku, berakhlak sedemikian
luhurnya, kita yang mengaku ummatnya justru pencilakan, mbalelo,
mbandul ndas, kemlinthi, bahkan njancuki. Rasul mana yang ingin kita
teladani kalau bukan Rasulullah Muhammad SAW. Urusan makan saja ribut.
Untung saja Rasulnya itu Muhammad SAW.
Bukan saya atau anda. Bahkan
Allah yang menciptakannya saja memuji akhlak dan budi pekertinya "
Wainnaka la'ala khuluqin 'adhim" QS: Al Qalam ayat 4: “Sesungguhnya
engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung.
Rasulullah Muhammad SAW. kalau makan itu selalu mengajak orang lain baik
yang muslim maupun non Muslim. Belum pernah ada sejarah yang mencatat
bahwa Rasul makan kenyang sendirian, atau nemikirkan perutnya sendiri.
Sering kali Rasul mengganjal perutnya dengan batu ketika lapar karena
lebih mendahulukan para shahabatnya agar kenyang lebih dahulu. Bahkan
Orang -orang kafir yang memeranginya saja diberikan bantuan dan diajak
makan bersama apalagi dengan para Shabatnya. Ya Allah Ya Kariiim....
Hal ini pula yang diteladankan oleh Ibu Sinta. Beliau merangkul siapa
saja bukan memukul, Beliau mengajak bukan mengejek, untuk menggalang
persatuan dan kerukunan antar ummat beragama.
Ibu Sinta keliling
dari sudut -sudut desa di lorong-lorong kecil dan di kota-kota untuk
mengajak menabur cinta dan kemesraan, Makan bersama, Buka bersama dengan
kaum termajinalkan mulai pemulung, penderas gula, penambang pasir
tukang becak, tukang ojek, tukang gorengan, petani kecil, dan dhuafa
juga para tokoh berbagai agama.
Apa yang dilakukan oleh Ibu Sinta
justru harus kita teladani karena Indonesia bukan negara Islam yang
tidak hanya diisi oleh satu agama, melainkan berbagai macam agama mulai
Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu hingga agama baru yang ia
sebut sebagai aliran Baha'i, Dharmo Gandul, samin, atau apa saja karena
mereka juga manusia yang harus juga kita "uwongke" kita manusiakan.
Toleran, saling menjunjung tinggi dan tetap menjalin kerukunan agama dan
antar ummat beragama adalah ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW
yang disampaikan lewat piagam Madinah untuk mengajarkan umat manusia
agar saling menolong juga selalu welas asih (berbelas kasih).
Sudah hampir 10 tahun terakhir Bu Sinta Nuriyyah Abdurrahman Wahid,
menggelar sahur dan buka bersama dengan kalangan masyarakat bawah, yang
dilaksanakan dengan kalangan non-muslim. Beliau, seperti sang suami,
ingin menjadikan Ramadan sebagai momentum untuk menyapa kalangan bawah
dan mereka yang dianggap berbeda. Beliau ingin menjadi “jembatan”.
Beliau ingin menghadirkan Islam benar-benar sebagai “rahmat” bagi semua
orang, bagi seluruh benua bagi segenap jagat. Tentu ada yang tidak
sependapat dengan beliau. Bahkan mungkin di kalangan pesantren dan NU
sendiri. Itu wajar, dan pasti akan beliau hormati, sejauh dikemukakan
secara baik, sopan dan terhormat.
Ternyata tidak, sejumlah orang,
mulai seorang mantan caleg gagal, pemuda pengangguran, hingga pemuda
yang baru kenal agama, ikut -ikutan mbacot, menghardik dan menghina
beliau dengan kasar dan benar-benar keluar dari semangat persaudaraan
dan kemanusiaan. Mereka seolah beragama, merasa paling Islam, tapi cara
mereka mengemukakan keberatan sangat jauh dari akhlak Islam.
Jadi
saudara, silahkan berprihatin pada Ibu Sinta, tapi tak perlu kasihan.
Ibu Sinta, Insya Allah kuat dan sabar. Sejak mendampingi sang suami,
beliau sudah terbiasa menghadapi orang-orang yang keras dan kasar
seperti itu. Justru kita harus kasihan pada mereka, karena hatinya penuh
bara api, kemarahan, dan dendam. Kepicikan, dungu, guoblok nalar
berfikirnya, telah menutupi nur yang ada di hati mereka. Sungguh
merekalah yang harus kita kasihani.
Sementara itu saudara, nun
jauh di Mesir sana, Universitas Al-Azhar baru-baru ini di laman fesbuk
resminya memberikan penghormatan kepada mediang sang suami, Abdurrahman
Wahid, sebagai Bapak Demokrasi Indonesia, dan menjadi salah dua orang
Indonesia yang dihormati di sana, selain Sukarno.
Dengan kenyataan
ini, bertambah-tambah kasihanlah kita pada mereka yang menghardik dan
menghina Bu Sinta… karena pasti mereka bingung sendiri bagaimana
menghardik dan menghina Universitas Al-Azhar. Bukankah bu Sinta
sebenarnya meneruskan kiprah sang suami yang justru dipuji dan disanjung
Al-Azhar.
Respon Cepat