Assiry gombal mukiyo, 04 Agustus 2016
Tidak sedikit dari
golongan manusia itu tidak punya waktu untuk mengenali presisi batas
antara kebutuhan dan keinginan, antara semangat dengan nafsu, antara
cinta dengan rasa-magnetik, antara cita-cita dengan khayalan, antara
waspada dengan curiga, antara hati-hati dengan paranoia, antara
optimisme dengan terburu-buru, antara sabar dengan lemah, antara arif
dengan lembek, antara progresivitas dengan keserakahan, atau antara
zuhud dengan rasa malas. Bahkan per kata dari semua itu juga tidak
benar-benar dicari kejelasan satuan-satuannya.
Beberapa hari yang
lalu begitu saya menulis tentang surat cinta kepada Dewan Hakim
Kaligrafi Nasional yang berisi tentang ajakan untuk berdiskusi,
berfikir kritis, berfikir dan melihat sesuatu secara detail, mengajak
untuk membentur-benturkan ego dan kepentingan masing -masing individu
menuju seberkas cahaya yang didalamnya ada sebuah ruangan adem, ayem,
tentrem yang saya sebut sebagai sebuah kedamaian rasa. Ternyata banyak
yang gagal mengerti, tidak sedikit yang gagal faham tentang apa itu
bedanya kritis dengan ribut, apa polarisasi, apa itu elaborasi, bahkan
jangan -jangan kita tidak bisa membedakan apa grasi dan apa itu trasi.
Apa itu ngacung dan apa itu ngaceng semua dicampur aduk. Meskipun juga
ternyata banyak sekali yang sangat "concern" dan asyik memberikan banyak
usulan dan solusi terhadap laju perkembangan kaligrafi di Indonesia.
Terkadang kita malas menggali setiap makna yang terkandung dalam setiap
kata itu. Ada teman kita yang membuat kata -kata puisi romantis
kemudian kita menyebutnya lagi galau, ada kawan kita seorang perjaka
yang sedang mencurahkan isi hatinya kepada seorang janda kita sebut
janda itu mabok brondong. Kita bahkan seringkali keliru memilih mana
yang sebenarnya roti dan mana yang disebut tai. Sehingga tanpa sadar
ternyata tai yang sesungguhnya kita lahap setiap hari. Lama-lama
orang malas romantis karena takut disebut galau. Malas peduli takut
disebut kepo. Males mendetail karena takut dibilang rempong.
Tidak heran jika peperangan terus-menerus terjadi di antara manusia dan
kelompok-kelompoknya karena polarisasi atau pengkutuban. Mayoritas
manusia berpijak pada kutub-kutub atau petak-petak yang tercerai berai,
dan masing-masing meyakini kebenaran terletak di wilayahnya
masing-masing. Tidak usah karena kepentingan kekuasaan atau
keperluan perekonomian pun manusia di dunia sangat berkecenderungan
untuk berperang karena fanatisme kutub-kutubnya masing-masing.
Kebanyakan manusia tidak berkembang kemampuannya untuk melihat jarak
antara kenyataan dengan penafsirannya terhadap kenyataan itu. tidak bisa
melihat bentangan jarak antara nilai dengan interpretasi atas nilai.
Antara Al-Qur`an dengan tafsirnya. Dan itu semua menghasilkan
keterpencaran, kemudian benturan, permusuhan dan peperangan, air bah
pengkafiran pemusyrikan pen-sesat-an, di antara manusia yang
masing-masing memonopoli Tuhan dan kebenaran nilai di kutub dan petaknya
masing-masing.
Tuhan menjadi obyek untuk saling mengklaim bahwa
ialah yang paling dekat dengan Tuhan. Hanya gara -gara suara Adzan yang
ditegur saja kita balas dendam dengan membakar tempat ibadah lain. Kita
gampang sekali tersulut, kita mudah berkobar tanpa mengetahui sangkan
paran, tanpa mau mempelajari orang lain, tanpa memahami bagaimana ketika
kita diposisi orang lain. Orang lain selalu kita paksa menjadi seperti
kita. Ini kan tidak bisa.
Respon Cepat