Assiry gombal mukiyo, 1 September 2016
Beberapa hari terakhir, jagat media sosial tertawa lepas sebab
kehadiran Mukidi; tokoh dengan cerita gokil yang mengocok perut. Cerita
tentang Mukidi tersebar di berbagai media sosial, bahkan jadi bahan
perbincangan pula di warung kopi.
Satu hal yang patut dicatat
atas kehadiran Mukidi akhir-akhir ini adalah kenikmatan tertawa di
tengah berita-berita ‘serius’ yang dapat mengernyitkan dahi. Mukidi
adalah ikon kegembiraan, keceriaan, lepas dan merdeka dari sumpek dan
ruwetnya hidup. Ia bisa dibilang terlahir kembali, mengisi hari-hari
masyarakat kita.
Beberapa waktu lalu saya sempat membuat Surat
Cinta kepada Dewan Hakim Kaligrafi Nasional. Banyak sekali kelucuan dan
bahkan saya sering senyum -senyum sendirian ketika duduk, jalan atau
ketika sedang manyun sendiri.
Saya semakin sering senyum sendiri
setelah itu. Meskipun saya berdoa semoga saya tetap waras dan ngga
berubah menjadi gila lalu mondar- mandir, gondal -gandul ngga pakai
celana. Ini kan membahayakan stabilitas dan kewibawaan saya.
Singkat
cerita ada salah satu Dewan Hakim Kaligrafi yang saya tanya melalui
inboks fb, sebut saja Namanya Bp.Mukidi. Terjadilah dialog ringan antara
saya dengan Bp.Mukidi hingga saya terpingkal -pingkal sendiri, "ngakak
iblis". Saya nukil sedikit penggalan Dialog saya dan Bp.Mukidi yang
menurut saya sangat lucu.
Saya: "Mohon maaf Bapak kan Dewan Hakim
Lomba Kaligrafi Nasional? Masak membedakan mana kaidah diwani yang
boleh dipanjangkan atau tidak Bapak tidak tahu, sehingga tidak terbaca
huruf sin atau syin".
Bp.Mukidi: "Wah kalau soal itu saya yah
kurang tahu, saya cuma ditunjuk dan diusulkan PemProp dan LPTQ dari
daerah kami untuk menjadi salah satu Hakim Kaligrafi Nasional. Yah
sedikit pengalaman lah pernah bikin dekorasi pengajian dan orang nikahan
dengan kaligrafi".
Saya: Saya ngakakkk dan menahan geli berasa
pengen pipis dicelana. Kemudian bertanya kembali "Terus bagaimana dasar
atau acuan Bapak untuk menilai lomba kaligrafi Nasional tersebut,
Standar penilaian Bapak dengan standar Nasional atau Internasional?"
Bp. Mukidi: Mohon Maaf Ustaz, saya sendiri dinas di KUA. Standar
Nasional apa internasional saya kurang tahu itu. Pokoknya yang penting
saya ikut menilai karena menjalankan tugas dinas. Itu saja!".
Sepertinya Bp. Mukidi sedikit sewot.
Saya: Senyum saya makin lebar, " Haduh pakk...bagaima mungkin Bapak
yang setiap hari tugasnya menikahkan orang, sekarang tiba tiba disuruh
menilai dan mengawinkan huruf kaligrafi. Bapak memang lucu, ngga tau
kaligrafi tapi mauu yah jadi hakim kaligrafi". Sambil mengelus dada dan
anuh saya....heehee.
Begitu lucunya Indonesia, Amil tukang Nikahkan
orang di KUA tetapi ditugasi Dinas untuk mengawinkan dan Juri Kaligrafi
tingkat Nasional. Sungguh besar sekali anugerah yang Allah telah berikan
kepada Bp.Mukidi.
Meskipun kadang kelucuan yang terjadi adalah
ketika bertentangan dengan nurani. Ini yang seringkali mengiris hati
saya sambil ingin sesekali split karena saya ngga bisa goyang patah
-patah meskipun sepatah apapun hati saya.
Saya setuju dan ikut
mendukung jika kelucuan itu berkaitan dengan polah dan tingkah bangsa
kita yang terus tegar dan perkasa menghadapi perihnya hidup seperti
misalnya banyaknya pemuda dan pemudi kita yang ngga punya duit tapi
berani nikah. Ngga bisa makan tapi mondar -mandir didepan warung atau
didepan rumah orang yang punya hajat dengan harapan biar dapat nasi
gratis tanpa mengeluarkan kocek.
Pemuda -pemudi kita berani kredit
motor padahal pengangguran. Ngga punya rumah padahal cuma ngontrak tapi
berani ngga KB dan terus saja bikin anak sampai ngga sempat kathoan (
pakai celana: red). Luarrr biasaaa....., Apalagi hayo ?
Banyak
sekalii kehebatan dan ketangguhan bangsa ini. Pemuda kita paling
semangat jika diajak perang. Makanya ketika Malaysia bikin ulah dengan
mengklaim batik, reog, gamelan sebagai budaya Malaysia. Mereka yang
paling lantang bersuara " Hayooo ganyang Malaysia, sudah lama kita ngga
gelut, ngga tawuran. Ko sekarang ada yang bikin ulah sikat habis saja,
dari pada hidup juga susah mending mati mengukir sejarah!".
Ngga bisa Indonesia dilawan dengan cara Perang karena semangatnya begitu berkobar bahkan jika tidak bisa makan sekalipun.
Bangsa mana yang kuat seperti bangsa kita. Bangsa yang terpuruk yang
hidup dari hutang luar negeri tapi masih bisa cengengesan, tertawa dan
terus bercanda menjalani kehidupan yang sulit dan terhimpitnya ekonomi.
Kecurangan -kecurangan dalam sendi dan bidang apapun sudah sedemikian
parahnya. Saya tak berani memastikan apakah kecurangan termasuk ke dalam
kurikulum pelajaran atau pelatihan sepakbola.
Jangankan sepakbola,
sedangkan Sekolah atau Universitas saja tidak punya urusan dengan
kejujuran atau kecurangan. Dunia akademis hanya mengkaitkan diri dengan
tahu dan tidak tahu, mengerti dan tidak mengerti, serta pintar atau
bodoh.
Adapun jujur atau baik, bukan urusan ilmiah, bukan urusan Kampus dan urusan Akademik.
Respon Cepat