Assiry gombal mukiyo, 2014
Istilah “Masyarakat Madani” sejak lama slogan ini diucapkan oleh semua
orang, dari Presiden sampai Ketua RT, dari veteran sampai ABG, dari
sarjana sampai tukang becak, dari waria sampai ormas-ormas agama.
Sehingga pernah suatu waktu para waria demo tentang transgender juga mengangkat tema "menjadikan masyarakat waria madani".
Dalam ruang berfikir saya mungkin yang dimaksud saudara kita para waria
adalah mereka ingin transgender tidak dipersoalkan sehingga mereka bisa
hidup bebas tanpa tekanan dengan landasan HAM sebagai acuannya.
Tapi disisi lain para Kiyai memplesetkan bahwa waria madani itu artinya
waria yang menjadi "center of madani". Madani disini dalam bahasa jawa
diterjemahkan dengan" diledekin atau dihinakan".
Akhirnya mereka
bukannya dihormati sebagai mkhluk Allah dan juga dimanusiakan (
diwongke) tetapi malah dihujat dan didiskriminasikan keberadaannya.
Slogan madani itu persis sebagaimana kaum terpelajar dulu yang
membohongi rakyat dengan istilah “Tinggal Landas”, “Era Globalisasi” dan
lain-lain, yang ditahayulkan dan menguap di angkasa waktu.
Sesungguhnya Masyarakat Madani bersumber dari Masyarakat Maddaniyah atau
Madinah Al Munawwaroh. Dengan demikian bukan Masyarakat Masihiyah (
masehi) yang dibangun oleh Rasulullah Muhammad saw, sesudah beliau
dengan pengikutnya berhijrah dari Mekah untuk bertempat tinggal di
Madinah. Ketika itu belum ada “state” dengan konstitusinya, sehingga
kedatangan masyarakat penghijrah yang disebut Kaum Muhajirin tidak
mengalami resiko konstitusional yang berkenaan dengan paspor dll, ketika
kemudian harus memasuki “negara” lain dan hidup bersama tuan rumahnya
yang disebut Kaum Anshor itu.
Sekurang-kurangnya ada tiga substansi clan peristiwa Hijrah itu.
Pertama, momentum hijrah itulah yang dipakai untuk menandai satuan
waktu, awal tahun dan abad Islam, “Ilmu”nya di sini terletak pada
kenyataan bahwa bukan hari atau tahun kelahiran Muhammad saw. yang
dipakai sebagai patokan awal abad Islam, sebab fokus ajaran Islam tidak
pada Muhammad, melainkan pada ajaran Allah yang dititipkan melalui ia.
Islam tidak bersikap feodal dan veded-interest dengan memonumenkan
Muhammad sebagai manusia, karena yang terpenting adalah kasih sayang
Allah yang dibawanya untuk seluruh ummat manusia.
Muhammad bukan
founding father of Islam. Agama tidak didirikan oleh Nabi, Rasul atau
manusia. Agama bukan buatan atau ciptaan yang selain Allah. Otoritas
atas kehidupan manusia seratus persen berada di tangan Allah, dan para
Nabi hanya menyampaikannya.
Kedua, hijrah sebagai acuan pokok
ilmu, ajaran dan cinta kasih Islam. Anda jualan soto kudus misalnya itu
menghijrahkan soto ke pembeli dan si pembeli menghijrahkan uang kepada
Anda.
Anda kentut dan buang air besar itu menghijrahkan sampah
biologis ke lubang WC. Anda nikah dan akhirnya melahirkan anak ( manak )
itu menghijrahkan sperma ke ovum istri.
Anda menghijrahkan uang
Anda ke brangkas bank. Anda menghijrahkan diri Anda yang kotor kemudian
bertaubat kepada Allah. Hidup adalah hijrah dariNya menuju
keharibaanNya.
Kaena sesungguhnya hidup hanya berlangsung dalam konsep dan mekanisme hijrah.
Tidak ada benda, makhluk, peristiwa atau apapun saja dalam kehidupan ini yang tidak berhijrah.
Menjadi jelas bahwa empasis nilai Islam tidak pada Muhammad Saw, melainkan pada nilai Hijrah itu sendiri.
Ketiga, metodologi dan strategi hijrah. Yang dilakukan pertama-tama
oleh Rasulullah saw. begitu tiba di Madinah adalah mempersaudarakan Kaum
Muhajirin dengan Kaum Anshor. “Mempersaudarakan” ini sangat luas
maknanya: mempersaudarakan dalam konteks transaksi kultural, sosiologis,
politis dan lain sebagainya. Negara kita sering ribut, tawuran, aksi-aksi
anarki yang membabi buta, aksi demo ormas-ormas yang mengatas namakan agama
semakin marak terjadi. Akhirnya menjadikan kerusuhan ,kekacauan dan
tumpang -tindih kepentingan semakin parah sehingga banyak bergelimang
nyawa yang terhempas sia -sia.
Hal itu terjadi karena konsep
persaudaraan kita tidak digali, diterjemahkan dan dirumuskan ke dalam
konsep nasionalisme, persatuan dan kesatuan yang jelas. Ketidakjelasan
konsep itu membuahkan ketidakmenentuan komunikasi, etika pergaulan antar
kelompok, kecurangan politik, dan menjadi lebih parah lagi karena
kepemimpinan ilmu kenegaraan Indonesia tidak bersedia mensyukuri ilmu
dan ajaran Allah yang mendialektikakan konteks-konteks horisontal dengan
vertikal.
Bahkan, kalau tidak karena perlindungan dan kasih
sayang Allah kepada rakyat kecil, negara Indonesia tidak akan sanggup
menyelamatkan dirinya sendiri. Hancur lebur.......!!
Respon Cepat