Assiry gombal mukiyo, 3 November 2014
Bukan soal mengajak orang peduli pada anak yatim, tapi soal
pemberangusan mentalitas, sehingga sebagian anak Yatim masuk pada zona
nyaman sebagai penerima santunan yang sesungguhnya. Kita harus
menyelami hal ini dan bukan menjadikannya sebagai “kapital” untuk meraup
profit.
Kita sering keliru membedakan status perhatian kita
kepada anak. Anak yatim lebih mulia ketimbang si miskin yg
terpinggirkan. Ini perlu kredo yang jelas. Perhatian kita kepada anak
-anak jangan disempitkan hanya pada sekedar label “yatim”, karena
terminologi yatim sendiri merupakan kondisi perhatian dan pemberdayaan
kepada seorang anak yang diyatimkan dalam konteks entah itu soal budaya,
ekonomi, pendidikan ataupun terhadap perhatian kepada anak -anak
jalanan dll.
Dalam Konteks agama, bukanlah si yatim itu yang tidak memiliki ayah. Yatim itu mereka yang tidak memiliki ilmu dan adab.
Ini bisa menjadi kredo yang lebih luas dalam perhatian kita yang lebih
luas terhadap pendidikan anak-anak. Siapa yang harus bertanggung jawab
kepada ratusan anak miskin dan atau dimiskinkan, anak yatim dan yang
diyatimkan oleh keadaan? Sehingga mereka tidak mendapatkan perhatian
yang layak, mulai dari pendidikan dan perkembangan karakter, serta
mentalnya. Bukankah mereka adalh generasi penerus bangsa?
Kenapa
juga kata "santunan yatim" harus dilembagakan dalam ceremoni baku yang
tidak memberdayakan, bahkan cenderung memajang anak-anak dalam barisan
penerima bingkisan di atas panggung kejumawaan sang penyumbang. Mereka
sesungguhnya Nggak Butuh Amplop, Tapi.. Perlu kesadaran baru untuk
merubah image buruk santunan ini.
Sebab, pada dasarnya, anak-anak
itu tidak butuh belas kasihan dalam penampilan kesalehan berkedok
santunan. Yang mereka butuhkan justru perhatian yang rutin bukan "acara
tahunan" yang berdalih Santunan atau lebaran Yatim.
Lha wong
menyantuni anak Yatim kok musti menunggu setahun sekali. Mereka perlu
perhatian khusus setiap saat, mulai dari sekedar hak bermain, bercanda,
ceria, bahagia, tertawa dan pembentukan mentalitas yang gagah dan
mandiri tanpa menggantungkan diri kepada orang lain sejak dini. Inilah
perlunya merubah mindset kita. Apa artinya menjamurnya Yayasan Yatim
tapi essensinya justru anak-anak tersebut terberangus dalam bingkai
hegemoni Yayasan yang membelenggu pertumbuhan kejiwaan mereka.
Saya ingin mengatakan bahwa mereka adalah anak-anak hebat, yang layak
mendapat hadiah bukan santunan, itu karena mereka berprestasi, bukan
karena “kondisi lemah” mereka. Mohon gagasan ini difahami dalam bingkai
“penguatan” mereka. Karena saat Anda menyantuni, justru melemahkan
kondisi psikis mereka. Sebab, secara tidak langsung tengah membentuk
mentalitas “payah” yang senang menerima. Itu mengapa tgl 10 Muharram
yang sering disebut lebaran anak yatim benar-benar menjadi momentum yang
ditunggu-tunggu.
Tanpa kita sadari anak-anak Yatim menjadi ladang
eksploitasi yang menguntungkan bagi pengasuh dari lembaga-lembaga tertentu
yang berkedok Yayasan Yatim. Lihatlah di sudut -desa dan perkotaan,
setiap tanggal 10 Muharram, mereka keliling dari pagi sampai malam
karena undangan santunan yang tiada henti. Bahkan disepakati atau tidak,
ibu-ibu mereka mengamini fenomena ini. Sudah terlalu sering, pada saat
pembagian santunan, bila anak yatimnya tidak datang, pasti beberapa ibu
datang mewakili anaknya.
Celakanya.......Saya juga pernah
menerima panitia santunan yang keliling menggunakan mobil ke
kampung-kampung untuk meminta santunan, saya berbincang panjang dengan
panitia tersebut, dia menuturkan bahwa praktek ini dilakukan cukup lama
dan berpenghasilan lumayan sekitar 500 ribuan per hari. Tapi ketika saya
tanya ada berapa anak yang diasuh dan apakah mereka disekolahkan, dia
menjawab ada 15 anak dan tak satupun yang sekolah, mereka hanya belajar
ngaji. Berikutnya saya tanya lagi soal alamat, tapi ia enggan
memberikannya, saat saya tanya nomor telepon pengasuhnya, ia bilang
pengasuh tidak punya nomor telepon, saya menjanjikan akan memberikan
beasiswa kepada anak-anak yatimnya, tapi ia menghindar terus dan segera
mohon pamit. Dengan berbagai kedok dan alasan, yatim seringkali dieksploitasi dengan cara-cara mengenaskan.
Respon Cepat