Assiry gombal mukiyo, 10 November 2014
Tanggal 10 November 2014, kita memperingati Hari Pahlawan. Peringatan
ini untuk mengenang heroisme Arek-arek Suroboyo dalam mempertahankan
kemerdekaan yang diproklamirkan 17 Agustus 1945. Sudah banyak diungkap
mengenai keberanian anak-anak muda kala itu melawan penjajahan Sekutu
yang ingin menjajah lagi bumi Indonesia. Keberanian itu muncul ketika
harga diri bangsa terinjak-injak. Entah berapa ribu orang yang meninggal
akibat clash dengan tentara Sekutu kala itu.
Saya tidak yakin
ketika mereka para pemuda yang mengusir sekutu dengan teriakan yel -yel
"Allahu Akbar" seperti yang dituliskan para sejarawan kita kepada Bung
Tomo saat memimpin pertempuran. Terdengar lebay, terlalu disantun 2kan
apalagi dalam kondisi kemarahan yang memuncak. saya yakin dan bisa
menggambarkan mereka yang dongkol, jengkel, penuh emosi dan menumpuk
kemarahan karena mempertahankan tanah air ini dari penjajahan.mreka arek
-arek surabaya juga ngumpat "Jancuk modyarr ndasmu" ...sambil
mengayunkan bambu runcing kearah perut dan mungkin kepala ( endase)
penjajah.
Yang jelas, semangat dan tumpahan darah para pahlawan
itu mewarnai kehidupan bangsa selanjutnya.
Berkat perjuangan mereka,
kita sebagai anak cucunya bisa menghirup kemerdekaan dan kebebasan.
Hidup sebagai orang merdeka – meskipun didera kemiskinan – jauh lebih
baik ketimbang hidup bergelimang harta tapi berada pada cengkeraman
ketiak penjajah.
Para pahlawan itu punya keinginan kuat untuk
menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi anak cucunya. Apapun mereka
korbankan untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan itu. Sebagai
bangsa yang memiliki tanah air ini, rasanya tidak adil kalau
diperlakukan sebagai orang kelas dua. Orang luar yang datang belakangan,
justru mendapat kenikmatan hidup dan fasilitas yang berlebih, hanya
karena mereka punya kekuatan dan semangat menindas.
Sebaliknya, para
putra bangsa yang punya hak histroris pemilik negara ini, justru
disingkirkan dengan cara yang sangat keji. Di situlah letak
ketidakadilannya. Bangsa Belanda, Portugis dan Jepang bisa bertindak
semena-mena kepada para Bumiputera yang berusaha menegakkan keadilan
bagi bangsanya sendiri. Ketidakadilan itulah yang menjadi sumber segala
bencana. Perlawanan terjadi di mana-mana karena keadilan yang diabaikan.
Itulah sebabnya, ketika kemerdekaan sudah terengkuh, para pendiri
republik meletakkan keadilan sebagai salah satu bagian dari dasar
negara.
Keadilan, sesuatu yang mudah diucapkan tapi sulit
dilaksanakan. Sejak negara ini merdeka, keadilan selalu dikumandangkan
sebagai salah satu tujuan berdirinya negeri ini, menciptakan keadilan
dan kesejahteraan. Tapi sejauh mana keadilan dan kesejahteraan itu bisa
dicapai ? Memang akan sulit mencapainya 100 persen, tapi bukan berarti
kalau tidak bisa penuh kemudian tidak tercapai sama sekali.
Harus bisa dibedakan antara keadilan dan pemerataan. Kalau pemerataan,
siapapun mendapat bagian yang sama, tak peduli apa perannya. Tapi
keadilan adalah sesuatu yang diperoleh secara proporsional. Kalau dia
bekerja keras, maka dia akan mendapat lebih banyak dibanding yang malas.
Yang bekerja dengan kecerdasan tentu akan mendapat lebih baik daripada
yang bekerja hanya dengan otot. Yang bekerja dengan ikhlas akan mendapat
ganjaran yang jauh lebih banyak, di dunia dan di akhirat.
Kalau
saja para pahlawan itu saat ini masih hidup, tentu mereka akan menangis
sejadi-jadinya, meraung -raung. Mereka kecewa dan sangat marah. Anak
cucu mereka ternyata tidak bisa menikmati keadilan dan kesejahyeraan
seperti yang mereka impikan. Perjuangan yang disertai dengan pengorbanan
yang sangat besar, bahkan nyawa -nyawa yang tercampakkan tidak
membuahkan hasil yang memuaskan. Ternyata, anak cucu mereka tetap saja
menderita – karena tidak mendapat keadilan dan kesejahteraan – sama
seperti saat mereka tertindas penjajah. Bedanya, para pejuang itu
ditindas langsung secara fisik dan kekuatan senjata, tapi anak cucu
mereka kini dijajah ekonomi dan dikeruhkan moralnya yang konon oleh
pemerintah yang berkuasa sekarang harus "direvolusi mental".
Air
mata para pahlawan itu tak berhenti menetes dan terus membanjiri relung
-relung jiwa "wong cilik" karena negeri yang dulu mereka perjuangkan tak
kunjung memberi keadilan dan kesejahteraan kepada rakyatnya.
Di pojok -pojok pelosok negeri, di sudut -sudut kampung yang murung, mereka bingung bahkan untuk membeli beras. Belum lagi mereka beranjak dari lamunan yang menerawang didepan jidat mereka.
Mata mereka berkaca -kaca, tergambar jelas raut kesedihan yang semakin
mendera, bahwa sebentar lagi harga BBM akan dinaikkan yang berimbas
kepada naiknya harga kebutuhan yang semakin melangit.
Di pinggir
jalan terdengar makian suara pemuda kampung menggelegar menyadarkan
lamunan saya "Jancuk ndase ........BBM kenapa naik lagi??"......
Sambil membawa bambu runcing entah mau ditusukkan kesiapa.
Respon Cepat