Assiry gombal mukiyo, 31 Juli 2015
Saya sangat mensyukuri dua hal. Pertama, telah lahirny satu Genre Baru
Masyarakat kaligrafi yang otentik dan orisinal, 40 tahun terahir ini di
Indonesia melalui berbagai peristiwa kreativitas sejumlah "penggodogan"
dalam transformasi kaligrafi yang melesat terbang menuju puncak
keindahan. Apalagi dengan lahirnya pesantren dan sanggar -sanggar
kaligrafi di Indonesia beberapa tahun ini. Sebut saja Pesantren LEMKA
Sukabumi, PSKQ Modern ( Pesantren Seni Rupa dan Kaligrafi Al Quran
Kudus), Sanggar Kaligrafi SAKAL Jombang, diramaikan pula dengan
lahirnya Jasa-jasa Kaligrafi Profesional seperti: CV. Assiry Art Kudus,
Noqtah Art Jakarta, Aufa Art KalSel, Farras Art Kudus, Jawas Art
Makasar, dan banyak lainnya yang tidak bisa saya sebut satu persatu
bagai jamur di musim hujan.
Syukur saya yang kedua karena hari ini
saya masih diberikan Allah nikmat kesehatan dengan terus bisa berbagi
ilmu di PSKQ Modern dan menebar virus-virus kaligrafi di bumi pertiwi
yang begitu saya cintai.
Akan tetapi saya menekan diri saya
sendiri untuk bersabar dengan terlebih dahulu bercerita tentang
Rajawali, sebab ada kemungkinan Sang Rajawali itu terdapat pada Genre
kaligrafer baru itu.
Burung Rajawali itu oleh Tuhan dikasih rangsum
atau jatah usia relative sama dengan umumnya makhluk manusia, yakni
60-80an tahun, naik turun.
Kalau kita para pecinta kaligrafi atau
para Seniman Kaligrafi menggunakan wacana “katuranggan” dan menemukan
dirinya adalah Rajawali, bukan burung emprit (red: pipit) atau
sekurang-kurangnya ia menemukan potensi Rajawali di dalam dirinya : maka
ia tinggal bercermin pada burung itu, karena hidup pada irama dan skala
waktu yang relative sama bagi umur kita.
Kaligrafer Indonesia
memiliki potensial untuk “hamengku” alias sikap memangku berbagai
formulasi peradaban seni di dunia. Disuruh apa saja bangsa kita bisa
mengikutinya, profesi apa saja Indonesia adalah tempatnya. Bangsa kita
adalah bangsa yang besar soal kita sekarang acak -acakan dan
berkeping-keping dibidang apapun itu anggaplah bagian dari "jihad" dan
proses Rajawali bertransformasi menjelma Garuda yang perkasa secara
ilmu, kebudayaan dan seni yang adiluhung itu.Tidak terasa 40an sudah
berlalu kiprah perkembangan kaligrafi di Indonesia menemukan
eksistensinya dan berkembang pesat sejak dimasukkan kedalam cabang
lomba MTQ Nasional.
Pada usia 40 tahun, burung Rajawali terbang
ke gunung jauh, mencari batu karang, memilih yang paling baja dari
bebatuan itu, mematuknya, menggigitnya, sekeras-kerasnya,
sekuat-kuatnya, dan takkan dilepaskanya sampai paruhnya tanggal dan
lepas dari mulut dan kepalanya meskipun berdarah -darah dan tentu
merasakan puncak kesakitan yang tiada tara.
Demikian juga
cakar-cakar kedua kakinya. Ia cengkeramkan ke batu paling keras dari
karang, dengan daya cengkeram sekali seumur hidup, dan takkan
dibatalkanya sampai lepas tanggal kuku-kukunya dari jari-jemari kedua
kakinya.
Kemudian dia akan kesakitan, tergeletak, terbang dengan
lemah, hinggap di seberang tempat tanpa kekuatan untuk berpegang.
Rajawali mengambil keputusan untuk menderita, untuk mereguk sakit dan
kesengsaraan, sampai akhirnya hari demi hari paruh dan kuku-kukunya
tumbuh kembali.
Nanti setelah sempurna pertumbuhan paruh dan
kuku-kuku barunya, maka barulah itu yang sejati bernama bernama paruh
dan kuku-kuku Rajawali, yang membuatnya pantas disebut Garuda.
Tariklah garis pengandaian: Rajawali itu adalah Anda atau kita para
pecinta dan penggiat Kaligrafi di tanah air. Sesungguhnya yang anda
lakukan adalah, pertama : keberanian mental, ketahanan jasad,
ketangguhan hati dan keikhlasan rohani untuk menyelenggarakan perubahan
yang bukan hanya mendasar dan mengakar, melainkan ekstra-eksistensial
mulai dari metode belajar, pola pembinaan, dan bermacam -macam strategi
untuk menumbuhkan kembali budaya kaligrafi yang pernah ada di bumi
Nusantara ini dengan bukti sejarah masa silam ketika ditemukan kaligrafi
kufi pada makam Fatimah binti Maimun sekitar abad ke 11.
Banyak
orang mengatakan bahwa garuda adalah rajawali raksasa yang telah melalui
masa transormasinya. Setidaknya Rajawali memiliki 7 ( tujuh) keperkasaan Sang Garuda:
1. Rajawali Terbang Bersama Kelompoknya.
2. Rajawali Tetap terfokus kepada visinya dan tidak terpengaruh dengan hambatan apapun.
3. Rajawali Tinggalkan misi lama dan mulai misi baru.
4. Rajawali Menghadapi tantangan untuk mencapai keinginan yang lebih tinggi.
5. Rajawali Berjuang menghadapi ujian/cobaan untuk tetap berkomitmen.
6. Rajawali Memprioritaskan kehidupan keluarga dng komitmen & tanggung jawab kpd keluarga.
7. Rajawali Harus membuang kebiasan dan sikap negatif dan terus membangun karakter.
Pengambilan keputusan Anda sebagai Rajawali itu tidak mempersyaratkan
sekedar keputusan hati, tapi juga keputusan akal dan nalar dengan
pengetahuan yang sempurna tentang alur waktu ke depan untuk membumikan
kaligrafi di nusantara ini. Keputusan itu bukan sekedar tindakan mental,
tapi juga intelektual dan pengejawantahan ide/gagasan juga rohaniah.
Kita bisa betul -betul menjadi Rajawali yang diakui dan digelari Sang
Garuda karena mengerti dan berani betapa beratnya menyangga kalimat
sehari-hari yang sederhana yakni “mati sakjroning urip” ( mati didalam
hidup) artinya membunuh ego dan kemalasan dan menghidupkan kreativitas
didalam diri kita disaat masih memilki kesempatan untuk lebih baik bagi
keberlangsungan kehidupan berkesenian.
Caranya adalah dengan
meninggalkan kebiasaan buruk kita yang cepat puas dengan hasil yang
dicapai dalam proses belajar seni kaligrafi dan unsur -unsur
pendukungnya.
Baru setahun belajar kaligrafi misalnya tiba-tiba
sudah menganggap dirinya sebagai garuda padahal sesungguhnya masih
emprit ( red: pipit). Ini yang celaka.
Perlu kesadaran baru, perlu
adanya mindset baru, perlu pembenahan entah itu sistem MTQ Kaligrafi
yang melulu seperti itu -itu saja atau apapun yang berkenaan dengan
kaligrafi yang sesungguhnya sangat monoton atau mengalami sedikit
merangkak secara kualitas.
Kita terkungkung dalam salah sangka dan
terus tertipu terhadap perkembangan kaligrafi secara kuantitas di
Indonesia yang terlihat seolah -olah semakin marak berkembang dengan
menelurkan ribuan generasi -generasi kaligrafer yang diharapkan menjadi
Garuda kaligrafi indonesia tanpa lagi melihat balance yang juga harus
diiringi bobot dari kualitas karyanya . Ketika ribuan generasi
kaligrafer yang kita bangga -banggakan itu disejajarkan dengan para
Master Kaligrafi Dunia dengan event Lomba kaligrafi tingkat Dunia
misalnya ternyata kita sadar bahwa kita masih seekor "emprit".
Dalam konteks bernegara kita bukannya bertransformasi seperti Rajawali
ketika memantaskan diri untuk menjadi garuda tapi dihukum oleh salah
kaprahnya tata kelola pemerintahan ini dengan memiliki kekayaan alam
yang melimpah dan harus membeli sangat mahal hasil kekayaan kita
sendiri, setelah kita sewa para tetangga mancanegara untuk mengolah
kekayaan itu dengan bayaran yang harus kita tanggung dengan menelan
kenyataan bahwa kekayaan itu ternyata akhirnya menjadi milik mereka.
Bangsa ini sungguh-sungguh memerlukan “pengambilan keputusan yang
cerdas dan tepat sasaran untuk membuang paruh dan kuku Rajawalinya”.
Namun lihatlah, potensi untuk itu betapa rendahnya, kecuali pada Anda
semua mulai saat ini berubah dan berbenah pada fungsi sebagai Garuda
Indonesia dan meninggalkan mental "emprit" atas segala aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Respon Cepat