Assiry gombal mukiyo, 07 November 2016
Beberapa waktu yang lalu seorang sahabat saya, kekasih hati dan juga karib saya, Si Cantik
Sisilia Margaretha
seorang calon biarawati yang berà gam Katolik "ngeshare" sebuah
percakapan dengan seserang yang mengaku Muslim tetapi ia dengan PeDenya
mengatakan orang di luar Islam itu Kafir. Bahkan Mbak Sisilia ini juga
langsung dicapnya "kafir" juga.
Saya sedih, prihatin
rasanya
ingin gulung -gulung, gedruk -gedruk melihat semakin banyak orang yang
sedemikian dangkalnya terhadap Islam. Allah saja masih memiliki ruang
yang luas kepada Makhluknya.Jika mau beriman maka berimanlah, dan kalau
mau kufur, silahkan kufur. Jangan suka menuding-nuding, apalagi ngecap
dengan lebel kafir, itu
menghina martabat manusia. Bukankah menyakiti hati orang lain itu bukan
ajaran Islam, bukan teladan dan akhlaq Rasulullah.
Musuh kita
sesungguhnya adalah kesempitan dan kedangkalan berfikir. Marilah terus
membuka ruang berfikir kita biar lebih jembar dan luas biar ngga gampang
gerah. Tidak sedikit orang yang menandakan keislaman seseorang
dari sekedar membaca dua kalimat syahadat. Padahal yang perlu diketahui
ialah apakah syahadat itu formal atau substansial?
Padahal istilah
kafir atau muslim dan mukminnya seseorang itu terletak pada pemahaman
bahwa menghargai manusia dan kemanusiaan apapun itu agamanya, dan itulah
islam. Kalau Islam dan Mukminnya seseorang itu bermakna
substansial, berarti tidak tergantung diucapkan atau tidak. Sebab kalau
harus mengucapkan, berarti ini tidak berlaku bagi orang bisu. Bagaimana
mungkin seseorang yang bisu bisa membaca Syahadat.
Sedemikian
juga Islamnya seseorang tidak bisa diukur dengan panca indra seperti
dilihat menggunakan peci atau didengar mengucapkan syahadatain. Pada
tingkatan tertentu, jangankan menuduh orang lain itu kafir, menilai
bahwa seseorang itu Muslim, sejatinya kita tidak mempunyai hak.
Jika
saya bersyahadat dan mengimani bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad utusan Allah itu belum cukup saya disebut Muslim harus ada
langkah selanjutnya yakni saya hà rus berperilaku baik ( beraklaq) kepada
siapapun bahkan terhadap seluruh makhluk dan semesta raya ini. Makanya
kenapa Islam disebut rahmatan lil alamin, ini sebenarnya kuncinya.
Makanya banyak disebutkan dalam setiap ayat Al Quran "Ya ayyuhalladzina
Amanuu", kata "Amanu" ( yang beriman) sering sekali dibarengi dengan
wa'amiluu al shalihat( yang berperilaku dan beramal baik). Berati ini
mengandung maksud bahwa orang yang mengaku beriman, tentu ia juga
berperilaku baik.
Yang memilki kapasitas untuk menilai seseorang
kafir atau tidak adalah Allah. Dialah yang memiliki informasi yang
sempurna hingga bisa melihat, baik yang dzahir maupun yang batin, soal
Islam tidaknya seseorang. Jika seseorang menghakimi orang lain kafir,
berarti ia ‘menutupi’ haknya Allah. Tidak hanya menutupi, bahkan ada
orang atau lembaga seperti MUI yang mengklaim bahwa Merekalah yang
berhak memberi stempel kafirnya seseorang, ini kan memalukan.
Sekarang saya bertanya kepada temen -temen sekalian, Apakah Anda memilki
cara untuk mengetahui seberapa iman anda? Bisa nggak kita mengukur
akidah kita? Bisa nggak kita mengukur, kita ini Islam atau belum Islam?
Kalau Anda menjawab “bisa”, itu kan mulutmu. Lha hatimu? Kita tidak bisa
menilai Islamnya orang, kita tidak bisa menilai sesat atau bukan
kecuali MUI yang selama ini paling getol melebeli sesorang itu sesat dan
kà fir.
Ini sama halnya dengan persoalan halal dan haram, yang boleh
melegitimasi kedua hukum tersebut adalah Allah Swt. Apabila kemudian
MUI mengeluarkan fatwa halal atau haram, sebaiknya diawali dengan
kalimat “berdasarkan sidang para ulama, menurut sidang itu” baru
kemudian dilanjutkan kepada kalimat hukum tentang fatwa halal atau
haram. Karena dalam kehidupan ini pemilik hak mutlaq secara kaffah à tau
total adalah Allah swt.
Hal ini juga agar jelas, bahwa fatwa
sesat, kafir dan semacamnya juga label halal atau haram yang dikeluarkan
oleh MUI bersifat relatif, setidaknya tidak merepresentasikan umat
Islam Indonesia seluruhnya. Sedemikian sehingga membuka ruang-ruang
dialog yang sehat dan bisa memberikan masukan serta kritik yang baik.
Saya setuju saja dan senang ada banyak dana yang masuk dari sertifikat
halal ke MUI, Coba sekali -kali MUI transparan kemana dana -dana itu.
Selama ini kan nggak masuk akal, padahal milyaran. Kafir itu jika
digunakan dalam agama menjadi orang yang menutup diri dari kebenaran.
maka dari itu dalam bahasa Inggris kafir menjadi heathen bukan cover
karena memiliki arti yang berbeda.
Lalu mengapa orang Kristen disebut Kafir?. Menurut saya, kristen disebut kafir karena kita menyebut yesus sebagai
Tuhan, karena bagi Islam tiada Tuhan selain Allah. Dalam kontek
keyakinan, Allah menegaskan bahwa sesungguhnya yang telah kafir itu
adalah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih
putera Maryam.” [QS.Al Maidah:72].
Toh tidak semua orang yang
beragama kristen maupun agama lainnya menganggap ada Tuhan lain selain
Allah, banyak dari mereka yang mengakui keesaan Allah sebagai Ilah yang
tunggal. karena dalam Alkitabpun dalam perjanjian lama khususnya semua
Nabi mengucapkan hal itu, mengucapkan tentang keesaan Allah.
Bahkan suatu waktu Abu Thalib pergi ke Syam dengan diikuti oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dengan tokoh-tokoh Quraisy dan
setelah mendekati seorang pendeta yang bernama Buhaera. Mereka
beristirahat, kemudian membiarkan kendaraan mereka mencari kehidupannya.
Kemudian pendeta itu keluar menemui mereka, sementara selama ini dia
tidak pernah sekali pun menghiraukan kafilah perdagangan itu. Pendeta
itu menelusuri tempat mereka berteduh, hingga menemui Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memegang tangannya. Pendeta tersebut
berkata, “Inilah Tuan Manusia, Inilah Rasul alam semesta, Dia diutus
oleh Allah sebagai pembawa rahmat Alam semesta.”
Dari cerita itu
saja kita juga ngga gegabah "gebyuh uyah" atau memukul rata dengan
mengtai orang katolik maupun gama lainnya dengan sebutan Kafir. Karena
tidak semuanya begitu.
Semoga mencerahkan.
Illustrasi: Foto peninggalan Biara peninggalan Buhaira.
Respon Cepat