Assyri gombal mukiyo, 2013
Selama ini kita tahu bahwa ayat yang menyuruh kita untuk
berqurban adalah QS Al-Kautsar. Adapun Azbabun Nuzul QS al-Kautsar ini, pada
saat Rasulullah menerima surat tersebut, beliau seolah-olah seperti pingsan,
begitu sadar beliau langsung tersenyum, kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa
al-Kautsar adalah pintu surga yang khusus disediakan untuk beliau.
Namun ayat
yang spesifik perintah Qurban adalah QS. Al-Hajj : 34 sampai ayat 37. Inti dari
ayat-ayat tersebut adalah untuk menegaskan bahwa berqurban itu hendaknya
dilakukan Lillah, hanya untuk Allah, berbeda dengn agama tradisi lainnya dimana
banyak ditujukan agar meredam amarah penguasa atau tuhannya. Dan yang diminta
Allah ketika kita berqurban bukanlah daging qurban itu sendiri, melainkan
ketaqwaan, kepatuhan atau keikhlasannya. Ciri ciri orang yang patuh (mukhbitin)
dalam ayat tersebut yakni :
- Apabila disebut nama Allah hatinya bergetar
- Sabar
- Mendirikan sholat
- Senang bersedekah.
Di Indonesia pada saat jaman kemerdekaan, banyak sekali
orang tua yang berlaku layaknya Nabi Ibrahim yakni mendorong anaknya ke medan
perang, sedangkan anak muda pada saat itu juga dikatakan sebagai Ismail, yang
sama sekali tidak mempunyai rasa takut. Coba kita bandingkan pada jaman
sekarang?. Dalam hal mencontoh Nabi, kita harus pilah dulu mana yang bagian
agama mana yang hanya sekedar tradisi. Misal ketika nabi makan, Nabi selalu berdo'a
sebelum makan itu adalah bagian dari Agama, sedangkan ketika Nabi yang selalu
makan dengan tiga jari itu bisa jadi karena memang pada saat itu yang dimakan
adalah kurma, roti, dan sejenisnya. Bisa jadi kalau seandainya Nabi diturunkan
di Jepang, maka tradisi makannya mungkin juga memakai sumpit. Sedangkan kalau
di indonesia tradisi makan pakai tiga jari kita telan ini mentah -mentah
sebagai sunnah dan bagian dari agama bukan tradisi maka bakso,soto dan sejenis
makanan panas lainnya anda makan panas -panas pakai tiga jari tanganmu ya
mlocottt.
Hakikat
Qurban disamping disebut al-Qur'an al-Hajj tadi untuk membentuk sikap jiwa
tunduk kepada Allah, juga merelakan apapun untuk kepentingan orang lain. Qurban
bisa dikatakan sebagai menyembelih egoisme, menyembelih keserakahan.
Kebahagiaan kita sebenarnya adalah ketika kita bisa berbuat Ihsan.Berbagi
dengan siapapun yang membutuhkan.
Pengunaan
idiom atau istilah-istilah saat ini banyak mengalami pendangkalan. Semua kata
yang bernilai sudah habis dipakai orang-orang untuk direndahkan. Misal para
koruptor sekarang menggunakan kata sandi atau istilah Kiai untuk menyebut
anggota DPR, terkait dengan proyek yang sedang di korup. Istilah Pesantren
adalah sebutan untuk badan atau kementrian yang mengeluarkan proyek. Istilah
Tahlilan adalah meeting atau pertemuannya. Bahkan untuk acara mesum dipakai
istilah jamaah. Sehingga ketika para koruptor yang menggunakan istilah-istilah
itu melalui SMS, maka itu tidak akan bisa dijadikan fakta hukum yang bisa
menjeratnya. Ada fenomena yang Allah melegitimasi langsung yakni, summum bukmun
umyun fahum la yarji’un (mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan
bisa kembali), La yarji’un itu mengandung arti tidak bisa disembuhkan.
Kita
sudah ratusan tahun disesatkan oleh berbagai kesalahan kata-kata, idiom,
istilah, dari masalah yang menyangkut politik, budaya, agama, hingga apa saja,
maka produknya adalah keseleo otak. Sudah tidak bisa membedakan mana pohon,
mana akar.Tidak bisa membedakan agama sama mazhab. Madzhab dianggap Agama, tape
dianggap Jemblem. Wong saiki rumangsane panen seggo, bukan panen pari.
Terus
ada yang tugasnya mencari seggo karak, pokoknya kalau ada karak berarti itu
teroris, langsung saja ditangkap, meski karak itu tidak melakukan apa-apa.
Padahal di dalam hukum, yang seharusnya
disalahkan itu adalah perbuatan, bukan identitasnya. Kira-kira karak yang diam
itu salah apa tidak? Tentu saja tidak salah, tapi kalau karak itu dilempar ke
wajahmu, perbuatan itulah yang salah, bukan karaknya. Dalam konteks Densus 88
dan terorisme saat ini, semua orang bisa bilang, ini lho teroris silakan
ditangkap, dan hingga saat ini tidak ada yang kritis terhadap hal ini. Kok ada
penangkapan terhadap terorisme, identitas kok ditangkap.
Selama
ini kita terkesan malu jadi orang jawa, jowone ga digowo, kalau di senetron
orang jawa selalu direndahkan, mendapat peran sebagai pembantu dengan logat
medok yang dipaksakan. Arab ditelan begitu saja, misal belum berangkat umroh
saja sudah berpakaian seperti Abu Jahal.
Tapi itu tidak apa-apa, Hak Asasi Manusia. Islamnya orang Arab itu
berbeda dengan Islamnya orang Jawa, meskipun secara prinsip, akidah, akhlaknya
sama, tapi output kebudayaan Islam itu jelas beda. Misalnya saja Konsep “Birrul
Walidain”. Kita adalah bangsa yang paling punya kelembutan hati untuk
menerapkan "Birrul Walidain" itu, kita punya budaya sopan santun
bahasa dan budaya kepada orang tua yang tidak dimiliki Amerika bahkan Arab
sekalipun. Kita juga punya mendem jerro mikul duwur, semakin tua semakin
dijunjung. Di Amerika tidak ada, begitu umur pensiun, langsung dikumpulkan ke
panti Jompo, dan itu adalah siksaan bagi orang-orang tua di Amerika.
Anda
harus bersyukur berlipat-lipat karena menjadi anak buahnya Kanjeng Nabi. Dalam
suatu peperangan, yang harus kita ketahui dari lawan adalah bagaimana strategi
perangnya. Padahal dalam situasi peperangan, tak ada satupun musuh atau lawan
yang mau membocorkannya. Bersyukurlah, karena Iblis bersedia membocorkan
"strategi perang"nya kepada Nabi, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya
atau tidak”.
Berkurban
untuk memerangi kemiskinan,korupsi dan keserakahan,menikam jantung busung lapar
dan menyembelih apapun yang berbau selain Tuhan. Karena idiom dasar dari tujuan
hidup dan mati kita adalah Allah (inna sholatii wanusuki wa mahyaaya mamamatii
lillahi rabbi al aalamiin).Inilah intisari kehidupan kita yang seyogyanya
menerapkan essensi kurban. Bukan untuk menumpuk harta dari sebuah jabatan, untuk mertua,pacar, makan enak , nyawer atau
bahkan karaokean.
Respon Cepat