Assiry gombal mukiyo, 19 Oktober 2014
Silahkan kalau anda mau mengurut dada masing -masing. Saya tidak
menyarankan bagi ibu-ibu, embak -embak untuk melakukan hal itu dalam
konteks terhadap sesuatu yang jorok, tapi lakukanlah karena lebih kepada
keprihatinan kita yang mendalam.
Lihatlah anak -anak kita yang
masih di bangku sekolah sudah berani booking hotel untuk menyalurkan
hasratnya yang tidak tertahan lagi. Hotel semakin rame dan menjamur
untuk menyediakan seks instan. Tawuran anak 2 sekolah sudah banyak
memakan korban nyawa 2 yang melayang sia -sia, bahkan DPR kita yang
mustinya menjadi wakil rakyat justru membuat kita jengkel dan sering
tawuran kepentingan, tawuran membuat Undang -undang yang tujuannya
adalah untuk sebaik -baiknya bagi kesejahteraan perut dan kelompoknya
sendiri. Para Ustaz ataupun tokoh masyakat perang dalil. Mereka tidak
lagi menjadi pengayom untuk ummatnya agar tetap rukun dan akur. Yang
terjadi justru malah centang perenang (mbingungke ndes) dengan dalil ini
dan itu, haram ini dan itu, bidah ini dan itu, anu ini dan anu itu.
Bisa jadi salah satu kemungkinan jawaban kenapa situasi demoralisasi bangsa kita sedemikian parahnya.
Hal itu karena faktor-faktor yang terpenting dalam kehidupan manusia
itu memang tidak ada sekolahnya. Nggak ada kelasnya. Ngga ada ruang
kuliahnya. Nggak ada kurikulumnya. Misalnya, berumah tangga. Nggak ada
fakultas rumah tangga. Tidak ada jurusan perkawinan atau pernikahan. Ya
dianggap lumrah saja jika jumlah perceraian dewasa ini semakin marak.
Ini terjadi juga karena mudahnya pelayanan untuk gugatan perceraian.
Perempuan lebih mudah mengajukan gugat cerai (rafa') asal cukup membayar
beberapa ratus ribu, semua dijamin mulus tanpa hambatan. Hakim
pengadilan pun hanya mengandalkan bukti lisan dan tulisan dari penggugat
dan kadang cenderung mengesampingkan kebenaran dan keadilan bagi pihak
yang digugat. Hanya karena pihak lelaki yang digugat tidak hadir dalam
persidangan misalnya, lantas pengadilan sewenang 2 memutuskan untuk
mengabulkan tuntutan penggugat.
Padahal bukti 2 tersebut sangat
subyektif dan rentan dengan kebohongan. Hakim kemudian memutuskan sebuah
pernikahan apakah layak untuk dilanjutkan perjalanan bahtera rumah
tangga si penggugat dan yang tergugat atau cukup sampai disini saja
alias cerai, Ini kan tolol. Singkatnya.....Pengadilan agama justru
menjadi biang kerok merebaknya kasus 2 perceraian.
Nenek moyang
kita dulu tidak butuh pengadilan agama untuk menjalani keberlangsungan
dalam rumah tangganya. Mereka bisa mnyelesaikan setiap perselisihan
rumh tangga mereka sendiri dengan ma'ruf tanpa memerlukan institusi
semacam pengadilan agama.
Tidak akan pernah ada di Indonesia
sepertinya sekolah jurusan pernikahan padahal setiap orang tentu ingin
berumah tangga, Yang ada hanya pendidikan seks. Itupun tidak ada
urusannya dengan masalah psikologis dan rohaniah. Apalagi dengan syariat
atau akhlak. Jadi rumah tangga nggak ada sekolahannya. Kebaikan tidak
ada sekolahannya. Padahal setiap orang di perlukan untuk baik. Akhlak
tidak ada sekolahannya. Padahal apa jadinya dunia ini kalau orang tidak
berakhlak.
Lho apakah di kurikulum-kurikulum sekolah, di
pelajaran-pelajaran sekolah, guru-guru, dosen-dosen, para professor
tidak pernah menyebut-nyebut pentingnya ketentraman rumah tangga,
kedewasaan suami istri, kebaikan hidup, atau moralitas. Bukan tidak
pernah. Tetapi tidak pernah di posisikan secara primer di
sekolahan-sekolahan kita. Kebaikan bukan lagi menjadi sesuatu yang
primer. Sungguh ironis dan mnyedihkan.
Anda seorang sarjana,
kemudian mengajar di sebuah universitas. Kemudian anda ketahuan mencuri
celana dalam mahasiswi di sebuah asrama. Anda hanya mendapat hukuman
separo. Yaitu anda mungkin di pecat dari universitas anda. Itupun belum
tentu karena soal moral tapi mungkin karena soal malu. Masak universitas
punya dosen hobby mencuri CD. Tetapi, dosen dan sarjana yang mencuri
CD, tidak akan pernah di copot gelar kesarjanaannya. Anda professor,
anda nyolong atau korupsi di kantor, anda tetap profesor. Anda doktor,
anda buang kentut sembarangan atau bahkan sangat semangat sekali menebar
kentut dimana -mana, anda tetap Doktor meskipun perilaku itu dianggap
sinting dan tidak berattitude sama sekali.
Betapa lemahnya,
legitimasi nilai dari sekolahan-sekolahan, universitas-universitas yang
selama ini kita puja 2 dan kita elu 2kan, agar kita bisa kuliah atau
ngampus disana.
Respon Cepat