Assiry gombal mukiyo, 18 Oktober 2014
Kita ini orang-orang tua, mengalami banyak sekali kekecewaan sebagai
manusia, sebagai warga negara, sebagai penduduk, sebagai bagian dari
republik yang sedang pilu ini dengan bnyaknya kekerasan-kekerasan atas nama
agama, kekerasan yang bahkan mengorbankn anak-anak dan itu terjadi justru
ketika pelajaran agama disebuah ruang Musholla, dan banyak lagi kasus-kasus
kemanusiaan yang tidak ada ujung penyelesaiannya. Kekecewaan-kekecewaan
ini b
erlangsung terlalu panjang dan akhirnya terakumulasi, menggumpal, jadi kapalan dia.
Akhirnya ada tumpukan-tumpukan kekumuhan didalam jiwa kita, sehingga
kemudian kita ingin meng-kentut-kannya. Kita ingin membuang angin busuk
itu dari dalam diri kita dengan misalnya Sinisme, dengan bikin
lawak-lawakan, kirim sms yang lucu-lucu kemana-mana. kita bikin
anekdot-anekdot mengenai pejabat. Kita ejek mengenai ini-itu. Kita
melakukan pokoknya formula-formula sinisme, kita bikin gambar -gambar
karikatur nakal pejabat 2 yang korup dan gila fustun yang semlohay
misalnya, lagu-lagu kebangsaan kita plesetkan. Pancasila kita bilang
“Pancasila : 1. Keuangan yang maha esa, 2. Kemanusiaan yang tidak adil
dan biadab. 3. Perseteruan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh
keserakahan dan seterusnya, begitu kita plesetin.
Cuman sering
kita tidak hati-hati, bahwa itukan pengalaman kita. Anak-anak kita, dia
tidak punya kewajiban untuk ikut menyanggah kekumuhan hati kita. Jadi
anak-anak harus kita lindungi. Anak-anak jangan kita ajari lagu Garuda
Pancasila yang kita pleset-plestkan dengan sinisme kita. Anak-anak harus
kita tumbuhkan bersama-sama dengan kemurnian Indonesiia Raya, kemurnian
Garuda Pancasila, kemurnian Padamu Negeri. Anak-anak jangan kita ajari,
jangan kita tanami dengan hasil dari kekecewaan dan keputus-asaan hidup
kita, sebagai orang tua.
Jadi dalam budaya, dalam sosialisasi
nilai-nilai nasionalisme segala macam. Kita harus sangat berhati-hati.
Termasuk teman-teman aktivis yang seringkali anak-anak disuruh menjadi
alat untuk melampiaskan kekesalan mereka kepada pemerintah. Akhirnya
pemeritah yang salah, negara yang disalahkan, negara kan bukan
pemerintah? Jadi teman-teman sekalian mudah-mudahan kita mengetahui
batas-batas itu dan tetap ditengah keputus-asaan seperti apapun kita
tetap menjaga pertumbuhan anak-anak kita, generasi yang terbaru sehingga
mereka akan menjadi anak-anak yang murni, yang siap untuk menjalankan
dari apa yang tidak mampu kita jalankan di dalam konteks nasionalisme
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Respon Cepat