Muhammad Assiry , 18 Mei 2014
Hanya orang awam yang membayangkan
Islam hanya pada sosok orang bersurban, sedang sujud, atau orang berpeci
membawa tasbih, yang jidatnya hitam atau berjenggot dan bersurban dengan latar
belakang masjid.
Sebaliknya jika melihat langsung
seorang petani yang bersimbah lumpur sedang sibuk mencangkul tanah dengan
sesekali mengucap Allahu Akbar karena takjub dan bersyukur atas karunia
hamparan tanah yang subur dari Allah, dianggapnya bukan (simbol) Islam.
Demikian pula jika melihat
(misalnya) seorang tukang becak yang berpeluh sambil mengayuh becak di tengah
terik sinar matahari, yang setiap kali menggenjot pedal becak selalu bergumam
alhamdulillah, dianggapnya bukan sedang berjihad atau sedang “berniaga di jalan
Allah”. Seorang pengamen siter tua yang mengalunkan gending Jawa dengan tema
syair tentang kebesaran Allah dan keindahan alam, dianggapnya tidak sedang
menyanyikan lagu “religi”. Yang dianggap lagu “religi” hanya lagunya Opick,
Bimbo, Habib Syekh, Haddad Alwi, Nasida Ria yang kebetulan menyanyikan lagu
Perdamaian, atau yang harus memuat penggalan-penggalan syair Bismillah,
Alhamdulillah, Allah, dst.
Dengan kata lain, orang hanya
menganggap sesuatu bernada religi atau Islami hanya dari syair, ucapan, gambar
atau simbol-simbol yang berkaitan dengan tulisan Arab, surban, ucapan
Alhamdulillah, dst.
Temen 2 sekalian mbok ya tolong
difahami bahwa tauhid bukan “men-satu-kan” Allah, karena sudah jelas bahwa DIA
adalah satu. Tapi Tauhid adalah proses menuju penggerakkan diri untuk
menggabung ke Allah SWT.
Setiap orang yang bekerja — apa saja
— mau tukang cukur, sol sepatu, tukang rosok, penjual kutang atau celana dalam,
penjual lontong dan gorengan atau apapun, asal itu merupakan puncak “ekstase”
untuk menggabung ke Allah yang Maha Akbar, dan selalu akan rindu kembali ke
“ekstase-ekstase” berikutnya, maka orang itu sedang berjihad di jalan Allah.
Respon Cepat