Aassiry gombal mukiyo, 12 November 2014
Pada suatu pagi ketika saya cek keuangan bulanan di Resto PSKQ, sekitar
2 bulan yang lalu. Ternyata uang saya yang sedianya untuk menambah
sebuah asrama Pesantren dan sebagian dana untuk membangun Resto
digelapkan oleh dua orang partner kerja saya. Padahal mereka berdua yang
betul -betul saya berikan mandat dan saya percaya, sebut saja Lek DAR
dan Lek Kom. Meskipun tidak genap100 jt yang diambilnya, tentu uang itu
bisa dipakai untuk kelancaran pembangunan asrama dan usaha tersebut
bukan digunakan untuk kesenangan pribadi mereka berdua.
Sebagai
manusia normal, saya marah. Tapi terus terang ini tidak konsisten dan
tidak rasional. Memang tak pernah saya cek sebelumnya karena saya sudah
percaya. Bahkan jika ada orang lain yang saya kasih mandat yang sama
pun juga gampang sekali memnfaatkan kemudahan -kemudahan yang saya
berikan. Karena terkadang memberikan uangpun saya tidak selalu memakai
kuitansi sebagai tanda bukti.. Jadi, kalau uang saya hilang, itu logis
dan realistis.
Tapi saya tak peduli. Saya telpon dua orang
partner saya tersebut, sambil berdiri bertolak pinggang menghadap ke
arah karyawan 2 Resto dan sambil berteriak: “Kalau uang saya tidak
sampean kembalikan secepatnya, saya tidak bertanggung jawab kalau ada
orang pengkor satu kakinya, cekot sebelah tangannya, atau pethot
mulutnya”.
Semua karyawan Resto di sekitar saya kaget dan
terkesiap sejenak. Tapi saya segera masuk Ruangan kamar Resto yang belum
jadi dan tidur lagi di dalam.
Sore harinya , Lek Dar berani jantan
datang ke Resto. Seorang yang sudah tua tapi bergaya muda dengan
berpakaian celana pendek selutut dengan topi dibalik berdiri dengan
wajah cemas didepan saya.
Ketika saya menatapnya, ia menunduk. Saya langsung bertanya.
"To the point saja Mas, bagaimana jluntrungnya sebagian uang dana resto
dan asrama ko ternyata sampean ambil itu dan untuk apa ?"
“Maaf,
Mas…” ia menjawab tersendat, “saya mengambil uang Sampeyan itu. Saya
minta maaf sekali Mas. Sekarang saya belum bisa kembalikan, karena habis
untuk membayar hutang pribadi saya dengan seseorang kawan dan
selebihnya untuk foya -foya, mendhem dan main Karaokean dengan seorang
PK."
“Lho, kenapa ko sampean ngga ngomong sebelumnya kalau mau di
pakai untuk membyar hutangmu padahal sudah jelas diawal kalau saya
ngasih uang itu untuk bikin Resto dan Asrama, apalagi malah sampean
kasih ke PK untuk Karaokean?" Saya bertanya lagi."Padahal itu bukan
uangmu tapi uangku".
“Iya, siih….” jawabnya, "tapi saya
bertanggung jawab mengembalikan ko Mas, tapi aku ndak tau kapan
mengembalikannya, karena aku sudah tidak punya uang sama sekali Mas,
Motor saja Kredit Mas telat lagi saya bayarnya"....Keluhnya.
" Ya
aku hargai kejujuranmu, ya sudah tolong meskipun akibat dari perilakumu
yang seperti itu telah membuat saya tersendat dan terseok usaha saya
dan mengorbankan banyak orang, termasuk asrama untuk santri juga belum
jadi, tapi tolong uang itu segera dikembalikan kalau sudah ada duit !".
"Saya sudah ikhlas meskipun berat rasanya, kamu sudah tidak berdosa
meskipun urusan jajan " PK" itu dosa tapi itu urusanmu sama Allah.
Sedangkan soal uang itu urusannya sama saya. Dan, ketahuilah Insya
Allah, kalau yang kamu pakai adalah barang halal, rejekimu akan berkah.
Kalau tadi, niat kamu mencuri atau menipu, maka kamu berdosa. Kamu
dikutuk Tuhan, saya tidak mendapat apa-apa kecuali kemarahan . Sekarang
semua sudah halal dan baik, meskipun saya sendiri akhirnya ikut "mumet"
kepala saya karena ulahmu, Semoga Allah menambah rezekimu dan
meringankan hidupmu.”
Dia bengong dan pamit pulang.
Dengan
dua macam lalu-lintas pindahnya suatu barang dari dan ke subyek yang
sama, nilainya menjadi berbeda. Kalau saya memakai kalkulasi ekonomi
dunia, maka saya rugi kehilangan uang meskipun kejelasan uang akan
dikembalikan tapi tidak tau pastinya, bisa saja malah memang tidak akan
pernah dikembalikan. Maka saya pakai teologi manajemen dunia akhirat,
sehingga beralihnya uang saya ke tangan partner saya itu tidak membuat
saya betul -betul kehilangan. Malah saya laba banyak, bukan hanya pahala
di akhirat, tapi Allah juga menjanjikan rezeki berlipat ganda, entah
berupa apapun, terserah Dia saja. pokoknya la in syakartum la
‘azidannakum.
Tentu setiap orang memiliki hak untuk bersikap sesuai kadar kemampuan dan kesabarannya sendiri -sendiri.
Kita tidak bisa menyalahkan seseorang yang merasa memiliki hak yang
belum anda bayarkan misalnya, meskipun hanya uang ratusan ribu sehingga
mengancam dan terkadang berkata kasar.
Saya ini bukan kaum
terpelajar, baik di sektor Salafiyah dan Kitab Kuning, maupun di sektor
persekolahan modern atau kampus. Jadi saya tidak tahu banyak mengenai
banyak hal. Tetapi dengan segala keawaman itu saya haqqul yaqin dan
‘ainul yaqin bahwa apa yang saya pahami, sikapi, dan lakukan dalam hal
uang itu adalah konsep teologi Islam.
Apapun saja yang saya lakukan
di muka bumi ini, sejak pagi hingga pagi berikutnya, ketika berada di
timur atau barat, tatkala berjaga, atau mengantuk, sebisa-bisa saya
tumbuhkan di atas kesadaran dan konsep teologi yang
segamblang-gamblangnya.
Kalau saya menjumpai sebatang kayu
melintang, saya sisihkan ke pinggir supaya tidak menyandungi orang
lewat. Kalau mungkin, saya akan pakai ia untuk menyangga sesuatu atau
untuk apapun yang bermanfaat. Konsep teologi saya adalah bahwa segala
yang di depan saya itu merupakan amanat Allah untuk saya Islamkan.
Di-Islamkan artinya diubah dari kemubaziran atau kemudharatan menjadi
kegunaan dan kemashlahatan.
Ingatan, kesadaran, dan formula
konsep teologi itu harus terus-menerus saya cari, saya pahami, dan saya
terapkan. Dan itu berlaku untuk pekerjaan yang kecil maupun yang besar.
Untuk soal rumput di halaman rumah sampai soal pekerjaan sejarah besar
yang menyangkut kebudayaan masyarakat.
Saya menyuapi mulut saya
dengan nasi tidak karena saya ingin makan, melainkan karena saya wajib
memelihara kesehatan badan yang dimandatkan oleh Pencipta saya. Saya
mencangkuli tanah dan menanam sesuatu bukan sekadar karena saya menyukai
keindahan, melainkan juga karena saya bersyukur dan takjub: kok ya ada
di dalam hidup ini yang namanya tanah, kesuburan, serta biji yang kalau
ditaruh di situ lantas tumbuh dengan penuh keajaiban.
Saya
berangkat tidur pada jam tertentu bukan karena saya ingin menikmatinya,
tapi karena saya wajib bergabung ke dalam irama sunnatullah yang
menyangkut badan dan jiwa saya. Saya bersedia pulang ke rumah saya di
gubug PSKQ dan mengajar apapun yang saya bisa ajarkan bukan karena itu
karir saya atau profesi saya agar mendapatkan keuntungan duniawi, karena
saya tidak punya karir dan tidak peduli profesi. Tapi itu adalah wujud
syukur saya kepada Tuhan yang telah melimpahkan segala anugerahNya
kepada hidup saya.
Saya lakukan itu semua karena, sebab pertama,
saya ini aslinya tidak ada, kemudian Allah mengadakan saya, ia
satu-satunya yang berhak atas saya, dan karena itu segala yang saya
lakukan bergantung pada kemauan-Nya. Saya diberi wewenang oleh-Nya untuk
berkemauan, tapi saya tidak pernah percaya bahwa kemauan saya atas diri
saya dan dunia ini akan pernah lebih baik dibanding kemauan Tuhan atas
diri saya dan dunia ini. Oleh karena itu saya tidak berani melepaskan
apapun sampai yang sekecil-kecilnya dan seremeh-remehnya, dari pencarian
pengetahuan tentang apa yang kira-kira dimaui oleh Sang Konsultan Agung
Allah SWT itu.
Kalau saya punya iradah, harus saya sesuaikan
dengan amr-Nya. Terkadang cocok, terkadang tidak. Terkadang benar,
terkadang salah. Tapi, apapun yang terjadi, iradah itu harus saya
lakukan dengan menggunakan qoul-Nya supaya produknya adalah kun fayakun.
Saya tidak banyak mengerti ilmu di alam semesta ini. Jadi hanya itulah
yang saya pahami sebagai konsep teologi.
Maka, sebab kedua,
orang-orang yang memintaku untuk melakukan segala macam pekerjaan itu —
ya berkesenian, ya keagamaan, ya mengajar Kaligrafi, ya bisnis ekonomi
kecil -kecilan , ya pengobatan, ya konsultasi kejiwaan, ya segala macam
jenis partisipasi dan sumbangan sosial — tidak bisa saya yakini bahwa
kemauan mereka itu benar-benar terlepas dari kemauan Tuhan. Saya harus
berspekulasi dan bersangka baik bahwa mereka adalah penyalur amanat
Tuhan kepada saya.
Jadi, apa saja, dari makan rujak sampai bikin
ABRI, tidak berhak dilakukan oleh manusia yang memiliki hubungan
vertikal total dengan Allah — tanpa memberangkatkannya dari ingatan,
kesadaran, dan konsep teologi yang jelas.
Dengan kata lain, tak
perlu menunggu mau bikin partai Islam dulu baru berpikir tentang konsep
teologi. Bikin mesjid, bikin perusahaan, bikin Golkar, bikin negara,
bagi orang yang ber-Tuhan, ada keberangkatan dan titik tuju teologisnya.
Ketika berpakaian sekular, ketika berbusana Muslim, ketika
berformalisme Islam, ketika berkultur-kultur Islam, ketika Islam formal
dipakai atau disembunyikan, ketika Islam diletakkan di kultur thok, atau
juga di politik resmi, semua terikat pada penyikapan teologis. Apalagi
yang namanya Partai Islam, harus terutama dilihat secara substansial:
bisa saja namanya Partai Kodok atau Partai Embek, tapi yang kita lihat
adalah apakah substansi kerjanya Islam atau tidak. Hanya orang-orang
yang tradisinya berpikir simbolik yang menyangka bahwa partai Islam
hanyalah partai yang memakai nama dan kata Islam.
Saya sering
menyayangkan segelintir orang yang mengatas namakan islam tapi merusak
nilai -nilai ajaran islam yang rahmatan lil 'alamiiin.
Kita juga
musti jujur dan menerima jika ternyata tidak sedikit orang -orang yang
bukan islam tapi justru menjalankan sariat islam yang cinta damai.
Tinggal kita lihat konsisten atau tidak, istiqamah atau tidak.
Respon Cepat