Assiry gombal mukiyo, 17 November 2014
Saya mengibaratkan diri saya seperti alat musik, apabila dipetik untuk
nada “Do” maka ia akan berbunyi “Do” bukan “Re”. Begitu juga jika tidak
ada yang membunyikan, maka saya tidak akan berbunyi. Dalam kehidupan
sehari-hari saya sangat ingin simpel, apa yang saya suka maka saya
pakai, dan saya lakukan.
Saya sering berbeda dari orang
kebanyakan. Dalam pencarian kesejatian hidup saya sering bertanya kepada
diri saya “Apakah berdosa apabila saya tampil berbeda?” Saya hanya
ingin berpakaian apa yang saya senangi. Misalnya kalau kebanyakan orang
memakai celana dalam biar nyaman saya justru kalau memakai CD malah
tidak nyaman. Pokoknya saya ingin berbuat sesuai apa yang saya kehendaki
dalam hati saya. Pilihan saya sangat jelas. Waktu kecil saya mengakui
hampir tidak pernah mengenakan seragam ketika bersekolah. Saya hanya
ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa menjadi orang yang merdeka itu
sangat enak sekali. Menjadi diri sendiri itu sangat enak sekali, tidak
perlu modal, tidak perlu latihan, hanya mengalir saja.
Menjadi diri sendiri dan tidak ingin seragam dengan orang lain itu karena common mindset.
Saya malahan tidak ingin dikenal sebagai orang Islam, jadi kalau kolom
agama di KTP bisa diganti saya ingin tulis agama saya gatholoco,
Wirosableng 212, atau kejawen yang penting bukan islam. kadang bila
keluar rumah saya juga bebas tidak pernah memakai simbol 2 pakaian
keislaman saya, seperti peci atau sorban dan apalah itu. Karena, saya
"malu" jadi orang Islam, banyak umat Islam yang betul-betul tidak ngerti
Islam, mereka banyak yang berpakaian, berkata tentang Islam, padahal
sesungguhnya belum. Jadi saya malu, makanya saya lebih baik
menyembunyikan diri, biar hanya saya dan Tuhan saja yang tahu. Bahkan
kalo perlu yang sampeyan tahu, guru saya adalah iblis. Saya punya guru
yang hebat, iblis. Dan iblis itu ternyata cerdas sekali, lebih cerdas
dari Jibril.
Perjalanan hidup itu, panjang atau pendek hanya
masalah nilai. Perjalanan kita hanya akan mengalami dua langkah tapi
kadang-kadang orang-orang hanya merasa perjalanan hanya satu langkah.
Orang hanya merasa perjalanan hanya satu langkah menuju langit,
seolah-olah langit adalah tujuan akhir. Itu yang hampir semua agama
mengajarkan kita untuk mencapai langit, bagi saya itu baru setengah
langkah atau baru satu langkah. Perjalanan kita dua langkah, pertama
memang kita harus mencapai langit, mencapai puncak. Di sana kita harus
mencapai yang namanya percaya kepada Tuhan. Setelah di atas, maka
perjalanan selanjutnya adalah, turun mencapai bumi kembali. Maka ketika
turun kita harus punya keyakinan yang lebih tinggi, yang disebut percaya
diri. Ke langit kita percaya Tuhan, ke bumi kita percaya diri. Percaya
diri berarti Tuhan ada di dalam diri kita.
Ada seorang Ulama
nyentrik yang berhasil menghindarkan ummatnya dari penasbihan Tuhan
kepada dirinya. Ulama tersebut begitu dihormati oleh para santrinya,
sebut saja Mbah Datuk Muhammad Syukran Undaan Lor Kudus, Jateng.
Mbah datuk begitu ditakdzimi oleh santrinya. Namun lambat laut Mbah
Datuk khawatir jikalau dirinya menjadi pembatas antara santrinya dengan
Allah ketika beribadah. Dengan cerdik Mbah Datuk kemudian melakukan
hal-hal yang diluar kewajaran seperti; ketika santrinya berpuasa, ia
tidak berpuasa. Atau ketika santrinya melaksanakan sholat jum’at, ia
tidak melaksanakannya. Yang terjadi akhirnya ia ditinggalkan oleh
santrinya. Namun dalam sudut pandang yang berbeda, Mbah Datuk tersebut
berhasil menggagalkan dirinya menjadi penghalang hubungan santrinya
dengan Tuhannya. Bukankah ini merupakan kesuksesan?
Beliau juga
telah sukses menemukan kesejatian bahwa menguji dan menemukan kemurnian
terhadap santri -santrinya bahwa yang hakiki itu Allah bukan dirinya.
Kita Jangan terlalu dini mengungkapkan kesimpulan sebelum melakukan
analisa yang mendalam. Jangan menghakimi sebelum mengenali lebih dalam.
Alam ini begitu luasnya dan Allah menciptakan makhluk yang
bermacam-macam.
Respon Cepat