Assiry gombal mukiyo, 24 November 2014
Dalam hidup pasti kita menemukan rentetan peristiwa yang pelik dan
sulit. Kesulitan apapun dalam hidup pasti berbarengan dengan kemudahan
dan solusinya "inna ma'al al 'usri yusran ".
Jadi yang benar adalah
setiap kesulitan pasti diikuti dengan kemudahan. Itu Firman Tuhan
bukan kata -kata saya. Kita kadang masih berfikir apatis bahwa setelah
kesulitan baru ada kemudahan. Inilah yang membuat kita takut menghadapi
setiap persoalan maupun kesulitan hidup ini.
Setiap kesulitan
apakah merupakan sebuah teguran atau sebuah ujian untuk naik kelas.
Kalau kita pribadi mendapatkan kesulitan, anggaplah itu sebagai teguran
dari Allah agar kita introspeksi diri dan berusaha menjadi lebih baik.
Tapi kalau kesulitan itu terjadi pada orang lain, betapa pun buruk sifat
orang itu, jahat dan amburadulnya orang itu anggaplah itu sebuah ujian
bagi dia. Barangkali itu adalah kesempatan dari Tuhan untuk dia naik
kelas ke jenjang kebajikan yg lebih tinggi. Dengan bersikap begini, kita
senantiasa teringat untuk menjadi lebih baik, dan juga terhindar dari
perasaan benci pada orang lain sekecil apapun itu.
Kata Guru saya
Mbah Datuk "The way you see the problem is the problem, esse est
percipi (to be is to be perceived). Semua stimulus itu sifatnya netral,
kita yang memberi arti pada stimulus itu; teguran, ujian, karma, siksa,
berkah. Kenyataan itu adanya di kepala kita, bukan di mata kita.
Betapa sering kita diam2 atau tanpa kita sadari mensyukuri kesulitan
yang dialami orang lain, kita malah "njilekno" atau "nyokorno" orang
lain yang mendapatkan kesulitan dan kesusahan hidup, kemudian lantas
menyalahkan orang tersebut tanpa memberi solusi apapun.
Betapa bodoh
dan kerdilnya saya yang kadang-kadang masih punya kepongahan dan
menggunakan kalimat suci sebagai justifikasi: doa orang yang teraniaya
memang didengar Tuhan.
Padahal, apa sih hak atas diri saya menganggap bahwa diri saya sebagai orang yg teraniaya?
Salah satu kejadian yg saya ingat adalah ketika suatu malam sekitar
pukul 19.00 WIB, saya silaturrahim ke rumah calon istri saya untuk
bertemu Bapak ibunya. Ternnyata masnya dari calon istri saya itu tidak
setuju atas hubungan saya dengan adiknya. Dia memaki -maki saya habis
-habisan, menghina dan merendah -rendahkan saya karena saya miskin dan
ngga punya pekerjaan jelas waktu itu. Bahkan hampir saja saya terkena
sebongkah batu besar saat dia melemparkan batu itu ke arah saya. Untung
tidak sampai kena, cuma pintu rumah Bapaknya yang pecah terkena
lemparannya.
Waktu itu saya hanya bisa mengelus dada, istighfar
dalam -dalam Sedih rasanya, dimarahi, diumpat- umpat untuk hal-hal
yang menurut saya nggak prinsip. Singkat cerita hubungan saya kandas
ditengah jalan.
Beberapa bulan kemudian masnya itu terkena musibah dan
terlilit banyak hutang dan mengalami kecelakaan.
Well, Saya
kasihan sama dia. I really am. Tapi, walaupun saya berhasil menahan
kemunculannya secara nyata, saya harus mengakui bahwa I smugly smiled
dan merasa Tuhan sudah memberikan ganjaran pada dia. Padahal, apa hak
saya untuk berpikir seperti itu? Just because he did me wrong, it does
not mean that I am better than him, or he is worse than me.
Tapi mungkin pengalaman seperti ini yang menjadi bagian dari proses perkembangan psikologis saya.
Seperti kata Jeffrey Lang dalam bukunya Struggling to Surrender
virtue itu harus dicapai manusia melalui evolusi moral-spiritualnya,
dengan menggunakan kemampuan untuk memilih, kemampuan untuk menimbang
konsekuensi pilihan kita, serta kesulitan yang akan menggoda kita
memilih hal yang kurang tepat. Free will, intellect, and adversity.
Virtue adalah bahasa latin yang berarti kebajikan ,kebaikan atau moral,
memang tidak bisa di-install. Jika kita ibaratkan diri kita adalah
computer, maka yg bisa di-install adalah program untuk spell-check;
menghindari word processor dari kata2 yang salah. Tapi kita tidak akan
pernah bisa membuat computer itu menjadi computer yang penuh kejujuran.
Semoga, sedikit demi sedikit, pengalaman sepahit dan seburuk apapun
yang pernah kita alami akan mengantar kita pada suatu kebajikan. Mungkin
saat ini kita baru sampai pada tahap spell-check; menghindari
mengucapkan kata-kata kasar secara nyata, sementara kejengkelan belum
bisa kita hilangkan. Namun, dengan terus menerus belajar, suatu hari
kita tidak perlu spell-check lagi, karena kebajikan itu menjadi bagian
yg built-in dalam diri kita.
Respon Cepat