Assiry gombal mukiyo, 05 Mei 2015
Kuas bulu babi yang bermerk “bristle” menjadi primadona yang luar biasa
pesat berkembang di Indonesia. Jelas alasan pertama Karena murah dan
gampang didapatkn bhkan sampai toko matrial bangunan di pelosok
kampungpun juga menyediakan. Alasan kedua karena kuasnya lebih lembut
dan halus apalagi jika digunakan untuk menulis kaligrafi di dinding
-dinding atau media triplek dalam MTQ kaligrafi cabang dekorasi.
Bulu apapun yang dari binatang najis tetap suci, maka boleh saja
digunakan, meskipun terpotongnya setelah babi tersebut mati. Alasannya,
bulu atau rambut bukanlah bagian yang memiliki kehidupan. Sesuatu yang
tidak memiliki kehidupan, maka tidaklah najis ketika mati. Namun
dianjurkan untuk mencuci bulu tersebut sebelum digunakan.
Dalam QS.An Nahl : 80
وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَى حِين) ٍ
“Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing,
alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu
(tertentu)” (QS. An Nahl: 80).
Ayat ini disebutkan dalam rangka
menjelaskan nikmat yang telah diberi. Yang dimaksudkan dalam ayat ini
mencakup bulu ketika masih hidup ataupun telah mati. Artinya, sama-sama
kedua jenis bulu tersebut masih boleh digunakan.
Ulama Malikiyah
berdalil bahwa bulu adalah sesuatu yang tidak memiliki kehidupan. Najis
hanyalah berpengaruh pada bagian tubuh yang bisa berkembang seperti
daging, beda halnya dengan bulu atau juga kuku. Asalnya, bulu dari
bangkai tetap suci karena bulu tidak bisa merasa atau tidak bisa
menderita sakit sehingga tidak bisa dihukumi najis ketika mati.
(Lihat pembahasan ini dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 20: 35 dan 26: 102).
Setiap bulu itu suci termasuk bulu anjing, babi, dan selainnya, berbeda
halnya dengan air liur. Oleh karenanya bulu anjing yang basah jika
terkena baju seseorang, maka tidak ada kewajiban apa-apa. Sebagaimana
hal ini yang jadi pegangan mayoritas ulama dalam madzhab Imam Abu
Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad dalam salah satu dari dua
pendapatnya. Dikatakan demikian karena hukum asal sesuatu adalah suci.
Tidak boleh dikatakan najis atau haram sampai ada dalil.
Bulu sama
sekali tidaklah terpengaruh dengan bekas-bekas najis, maka sangat sulit
jika bulu tersebut jadi najis. … Setiap hewan yang dikatakan najis, maka
pembicaraanya pun sama dalam masalah bulu dengan yang dibicarakan pada
bulu anjing. … Namun yang lebih tepat bahwa bulu hewan najis itu tetap
suci. Lihat di (Majmu’ Al Fatawa, 21: 617-619).
Adapun menyatakan
sama najisnya antara bulu dan air liur, maka itu suatu hal yang tidak
mungkin karena air liur keluar dari dalam tubuh. Hal ini berbeda dengan
bulu yang tumbuh di kulit.
Semua pakar fiqih juga telah
membedakan kedua hal ini. Mayoritas Ulama ( jumhur Ulama' ) mengatakan
bahwa bulu bangkai itu suci, berbeda dengan air liurnya.Bahkan Imam
Syafi’i dan mayoritas pengikutnya mengatakan bahwa tanaman yang tumbuh
di tanah yang najis tetap suci.
Oleh karena itu, sebagaimana tumbuhan yang tumbuh di tanah yang najis
tetap suci, begitu pula bulu anjing yang tumbuh di kulit yang najis
lebih tepat dikatakan suci. Berbeda dengan tanaman, dia bisa mendapatkan
pengaruh dari tanah yang najis, sedangkan bulu adalah sesuatu yang
padat (keras) sehingga tidak mungkin dipengaruhi layaknya tanah.
bulu hewan seperti bulu anjing, bulu babi, bulu kucing, bulu harimau
atau bulu hewan apapun tersebut tetap suci. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Asy Syafi’i dan Imam
Malik.
Para pengikut Imam Ahmad seperti Ibnu ‘Aqil dan lainnya
mengatakan bahwa tanaman (yang tumbuh di tanah yang najis) juga suci,
lebih-lebih lagi bulu hewan.
Jadi, setiap hewan yang dikatakan najis, maka pembicaraan mengenai rambut dan bulunya sebagaimana pembicaraan pada bulu anjing.
Dari penjelasan yang saya nukil dari para Ulama ini, berarti bulu babi juga suci sebagaimana bulu anjing.
Menurut hemat saya bahwa sesuatu bisa jadi haram atau tidak itu
tergantung penggunaannya, kecuali memang sesuatu itu sudah jelas
ditetapkan haramnya untuk dimakan misalnya.
Analoginya bahwa
sebilah pisau bisa jadi halal jika digunakan untuk memotong buah atau
sayuran untuk memasak didapur, pun sebaliknya pisau itu jadi haram bila
digunakan untuk menusuk perut anda hingga berdarah -darah misalnya.
Pisau hanya sebuah sarana yang dapat bermakna positif atau negatif tergantung pemakainya.
Sudah jelas memang jika daging babi itu haram jika dimakan karena
banyak mudharatnya bagi manusia dan juga najis tapi bukan berarti najis
juga bulunya jika dimanfaatkan untuk melukis dan semacamnya.
Saya haturkan terimakasih yang setinggi -tingginya untukmu "Kang Mas
Babi".Bertahun -tahun saya telah memanfaatkan bulu -bulu halusmu untuk
menebar dan mengindahkan ratusan Masjid / Musholla dan surau yang
tersebar dipenjuru Nusantara. meskipun banyak orang yang merendahkanmu,
sedalam -dalamnya saya memuliakanmu sebagai makhluk ciptaan Allah, mohon
jangan diambil hati.
Kang Mas Babi mungkin "ndak tau" kalau
"sampean" itu sering menjadi bahan dan topik umpatan bangsa manusia,
tapi sudahlah saya lebih yakin bahwa terkadang "sampean" lebih baik
dari yang menyebut dirinya paling "manusia".
Sebuah dasar yang
harus kita fahami kembali "Ma Khalaqta Hadza Batilan" artinya bahwa
tidaklh Allah menciptakn sesuatu itu sia -sia. Semuanya tergantung
mindset berfikir kita, bagaimana kita mengolah ratio kita menuju
kekuasaan Allah yang begitu luasnya semesta Raya ini.
Wallahu a'lam, semoga bermanfaat.
Respon Cepat