Assiry gombal mukiyo, 4 Mei 2015
Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang gegap gempita dirayakan
setiap tahunnya pada 2 mei lalu adalah formalitas dan ritual semu biar
seolah -olah Bangsa ini sangat memperdulikan kemajuan pendidikan.
Padahal tidak sama sekali.Buktinya diskriminasi pendidikan masih terjadi dimana-mana.Terutama pada dunia Pesantren.
Pemerintah pusat tidak pecus dan benar
-benar serius mengakui sistem pendidikan pondok pesantren termasuk
sistem pendidikan nasional. Ini diskriminasi pendidikan. Di Indonesia,
Pondok Pesantren Diniyah Salafiyah misalnya tidak masuk program
pendidikan Nasional.
Guru dan pengajarnya seperti gembel dan
gelandangan yang tidak pernah tersentuh oleh Pemerintah. Alih -alih
dapat tunjangan dari Pemerintah, gaji mereka bahkan nyaris tidak bisa
membeli beras dan kebutuhan lainnya.
Inilah "ndobolnya"
Pemerintah yang tidak bisa mengelola model Pendidikan di
Indonesia.Pondok Pesantren Diniyyah salafiyah ialah sekolah keagamaan
yang
menerapkan sistem pendidikan konvensional. Tiap-tiap pesantren ini punya
sistem silabus pendidikan sendiri-sendiri. Belum Lagi Pesantren
Tahfidz, Pesantren Tilawah dan berkembang Pesantren Kaligrafi dan
lainnya.
Karena tak dianggap memenuhi konsep pendidikan nasional,
ribuan Santri lantas dimasukkan ke dalam program Kartu Indonesia Pintar
dan dianggap buta huruf. Padahal meski tak mengenyam pendidikan umum,
lulusan pesantren mampu membaca kitab gundul dan berbahasa asing seperti
bahasa Arab. Artinya, selama ini mereka belum dinilai sejajar dengan
lulusan pendidikan formal lainnya.
Berdasarkan Peraturan
Pemerintah nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan,
kurikulum pendidikan sekolah keagamaan harus ada menambah mata pelajaran
umum sebagai syarat penyetaraan. Pesantren wajib memasukkan pelajaran
Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, IPA, dan IPS supaya tidak memerlukan
kejar paket A, B, maupun C.
Inilah bodohnya Pemerintah.Konsep pemikiran Ki Hajar Dewantara sebagai Tokoh Pendidikan tidak hanya
memberikan ajaran yang relevan untuk masa lalu, tapi juga untuk
menyikapi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.
Ki Hajar
Dewantara dalam pemikirannya mengungkapkan bahwa dalam hidup seseorang
hendaknya bisa melakukan Ing Ngarso Sung Tulodho , Ing Madya Mangun
Karso, Tut Wuri Handayani. Artinya, ketika berada di depan atau
menjadi pemimpin, bisa memberikan contoh yang baik, ketika kembali hidup
di tengah masyarakat mampu memberikan motivasi dan semangat yang
positif dan ketika sudah tidak mengemban tugas apapun dapat memberikan
dorongan bagi lingkungannya untuk maju dan berkembang. Sehingga Dunia
Pendidikan ndak kocar -kacir seperti ini.
Itu baru saya sebut soal kurangnya perhatian Pemerintah soal Dunia Pesantren, belum yang lainnya.
Sebenarnya Konsep Dasar Pendidikan kita cukup berpedoman pada tata
nilai luhur warisan Nusantara dan sumber-sumber etika dan moral dari
agama untuk menjadi pribadi yang tidak korupsi, tidak menyakiti orang
lain dan seterusnya. Ambil saja misalnya larangan untuk berbuat Molimo
(main, madon, mabuk, maling, madat, bisa ditambah satu lagi, yaitu
mateni) sebagai pedoman hidup di Jawa, sudah itu saja dilaksanakan, maka
hidup akan damai, harmonis, dinamis dan tidak merugikan satu sama lain
dalam interaksi sosial.
Agar orang tidak korupsi( maling) kan tidak
harus sekolah dulu, tidak harus kuliah dulu, cukup dengan berpikir
menggunakan akalnya, bersumber dari nilai dan filosofi budaya Timur,
maka orang tersebut tidak akan berbuat korupsi. Justru sumber tata
kehidupan yang dinamis dan damai, bahagia, sejahtera, adil, dan
seterusnya sumbernya adalah pada nilai dan filosofi—yang kemudian
mewujud dalam ekspresi budaya.
Seorang hakim modalnya adalah rasa
keadilan di dalam dadanya, bukan pasal-pasal dan ayat-ayat hukum
normatif-positif. Kalau terbatas pada hukum-hukum normatif, maka pasal
dan ayat tersebut terbatas kemampuannya, karena akan banyak sekali kasus
hukum yang terjadi, sebab-musababnya berbeda, pertimbangan psikologis,
sosial, budayanya juga berbeda, lagipula, sebenarnya produk
undang-undang tersebut didasari oleh atau pengejawantahan, perwujudan,
dari ideologi, nilai-nilai, filosofi kehidupan. Jadi, kalau kita hanya
berpegang pada “produk” jadinya saja, tanpa tahu “asal-usul” produk
tersebut, maka kita jadi kaku seperti yang terjadi pada kasus Simbah
Asyani. Hukum akhirnya hanya terbatas, dan hanya pada level pengguna
produk saja, belum pada level pemaham dan pemroduksi ketentuan
undang-undang, peraturan, pasal dan ayat, baru sampai pada “syari’at”
saja, belum “hakikatnya”.
Andaikata saya jadi Rektor kelak di
Kampus yang saya dirikan, maka saya akan membangun asrama bagi
mahasiswa, para mahasiswa baru wajib masuk dalam asrama tersebut minimal
selama satu tahun, dan di situ didesain sedemikian rupa untuk
menghasilkan iklim, budaya, dan “rasa” yang akan mendidik mereka secara
intensif, selama 24 jam, sehari semalam.
Kita selama ini memiliki
warisan desain pendidikan, yaitu Pesantren, namun dunia kampus modern
tidak banyak belajar dari keunggulan yang dimiliki oleh pesantren.
Mungkin yang diambil dari pesantren juga tidak semuanya, bukan tentang
budaya “feodalnya”, melainkan pola mendidiknya, kedekatan intensif
antara “senior” dan “yunior”, dan lainnya.
Banyak orang yang suka
dan menikmati korupsi karena mereka tidak pernah merasakan nikmatnya
memberi, berbagi, mereka hanya pernah merasakan nikmatnya korupsi, di
sinilah sekali lagi, anak-anak kita, para mahasiswa kita dalam asrama
tersebut dibelajarkan untuk merasakan betapa nikmatnya berbuat baik,
nikmatnya beramal shadaqah, nikmatnya makan dari hasil jerih payah masak
bersama, belajar ngantri mandi dan beol di Wc dan lainnya.
Literatur sejarah kita menunjukkan bahwa para Founding Father kita juga
dididik dalam asrama-asrama hingga mereka bisa berkumpul-berserikat
membangun gerakan untuk kemerdekaan bangsa.
Respon Cepat