Assiry gombal mukiyo, 09 Juli 2015
Kata “Tuhan” adalah istilah yang menyimbolkan Wujud Mutlak, Sempurna,
Hidup, dan Berdiri Sendiri( Qiyaamuhu binafsihi) hanya kepada Allah
Rabbul ‘Alamin semua wujud nisbi bergantung.
Allah adalah Rabb,
Maha pengelola Kehidupan, Yang Menyediakan semua rezeki sebagai
fasilitas bagi seluruh manusia, dan yang Maha Mampu Membentuk
(al-Mushawwir) lewat sunnatullah-Nya.
Allah adalah Tuhan/ Ilah
yang—mau tak mau—seluruh makhluk harus menyembahnya, memujinya. Dia
adalah Tuhan yang memberi sanksi, pidana, dosa dan pahala, tempat
berlindung serta harapan ampunan dan pertolongan.
Allah adalah
subjek satu-satunya yang tak pernah dapat diobjekkan. Bagaimana akal
yang super jenius dapat memberikan gambaran bentuk zat-Nya, sementara
Dia yang menciptakan akal. Maka dari itu, Allah tak dapat dilihat,
dikenal, dicari, dibayangkan, ataupun dinyatakan. Tak kan ada pola yang
nisbi bagi-Nya di alam ini. Fikirkanlah apa yang telah Allah ciptakan
jangan memikirkan dzat maupun bentuknya ( Tafakkaruuu bikhalqillahi wala
tafakkaru bidzatillahi).
Allah selalu luput dari verba pasif makhluk-Nya. Adapun seni, merupakan manifestasi keindahan yang lahir melalui
kreativitas sadar manusia. Produk keindahan yang tidak disadari tidak
dinamakan berkesenian.
Adapun hakikat keindahan adalah manifestasi
sifat Jamaliyah Allah yang permanen dalam setiap wujud ciptaan-Nya.
Segala sesuatu tampil dalam keindahan yang unik. Seperti inilah Allah
Yang Maha Indah dalam mencipta dan mencinta keindahan. (Innallaha
jamiilun yuhibbu al jamal).
Boleh jadi keindahan yang dimaksud
disini tidak terbatas. Akan halnya perdamaian, suka cita, alam nan elok,
lukisan/rupa yang begitu mengagumkan, dan segala yang mencitrakan
energi positif.
Hakikat keindahan Allah adalah manifestasi sifat Jamaliyah Allah tak terbatas, dan memiliki energi positif bagi manusia.
Meskipun seni bersifat subjektif, seni memiliki nilai universal
sehingga dapat diamati dan direspon oleh segenap manusia yang berbeda
etnis dan background kehidupannya. Karena corak seni dan mekanismenya
berada di alam kehidupan yang melibatkan semua bangsa. Belum tentu
menurut orang indahnya suatu objek adalah indah bagi dirinya sendiri.
Seni juga memiliki daya untuk menggerakkan semangat manusia, membakar
amarah, membuai hati ke alam nyata yang tak berwujud dan mampu
melenakan. Oleh karenanya, sebagian orang mengharamkan seni, sebab seni
mampu “menyihir” siapa saja tanpa pertimbangan baik dan buruknya. Untuk
itulah mengapa kita memilah milih mana saja seni yang memberikan
maslahat, dan yang mudharat untuk ditinggalkan.
Inilah yang dimaksud bahwa seni itu bebas nilai, tergantung bagaimana kita mengemas dan meletakkannya pada koridor tertentu.
Karena seni itu bebas nilai, maka Allah Rabbul ‘Alamin memberikan
rambu-rambu kehidupan bagi manusia walaupun tidak ada nahs al-Quran dan
Hadits. Cukup dengan hujjah, bahwa seni yang membawa maslahat bagi
budaya dan eksistensi manusia tanpa nilai jorok dan negatif lah yang
diperbolehkan.
Disamping membawa maslahat, patut kita sadari
peranan seni tidak pernah lepas dari agama. Seni selalu dikendarai oleh
agama dan filsafat untuk mengarahkan gaya hidup manusia agar berbudi
luhur. Salah satu contohnya adalah penyebaran agama Islam melalui
tradisi wayang oleh Sunan Kalijaga terhadap orang Jawa beberapa abad
lalu. Beliau menyusupkan nilai-nilai ke-Tuhan-an, keteladanan dan akhlak
melalui seni ini, agar masyarakat Hindu pada waktu itu memiliki
kesadaran untuk konversi ke agama Islam.
Contoh lainnya adalah kisah
perwayangan Mahabrata, Ramayana, yang diakui oleh umat Hindu mengandung
ajaran agamanya. Teater Yunani, Opera, patung-patung di Gereja dan
Vihara, nyanyian suci, tarian sufi, tarian bangsa Inca dan Maya,
Matsnawi Rumi, Qasidah dan Qiraat al-Quran adalah contoh-contoh lainnya.
Seni sebagai mediasi dalam menyampaikan ajaran agama.
Jika
saya bertanya kepada anda "Apakah Allah itu Maha Seni?" Tentu anda akan
menjawab " Iya Allah adalah Maha Seni. Allah telah memberikan sinyalemen
ini dalam al-Quran dengan nama-Nya yang agung, "Al-Mushawwir al-Kholiq.
Jadi, seninya Allah itu adalah “Seni Abadi”—sebagaimana yang telah
dipaparkan diatas—yang telah berhasil menjadi ujung tombak ajaran
tauhid.
Jika kita museumkan ideologi agung ini, kita harus siap
dengan penggantinya yang memadai buat selera jaman. Namun, satu hal yang
mesti kita camkan; tiada keabadian dalam hasil kreativitas seni tanpa
konsep akurat yang melatarbelakanginya.
Kretivitas positif yang
dihasilkan para seniman seharusnya membawa misi maslahat, dan
kemaslahatan yang terkandung itu merupakan amal saleh yang tidak
diragukan lagi nilainya. Tapi, amal saleh—kreativitas, atau yang biasa
disebut dengan perbuatan baik—dalam pandangan akal manusia belum tentu
dapat sampai ke hadirat Ilahi tanpa ruh, dan ruh seni itu adalah ikhlas.
Keihklasan kita yang mampu memi'rajkan imaji tanpa batas yang terbang menuju puncak keindahanNya.
Meskipun ikhlas telah memberikan sayap kepada amal saleh untuk terbang
kepada hadratullah, ia belum mendapatkan tanggapan yang berupa balasan
(jaza’) dari Rabbul ‘Alamin kalau tanpa kiblat. Dan kiblat amal saleh
adalah mardhotillah. ( Irjii ila rabbiki radhiyatan mardhiyyatan).
Dengan ideologi bersenian ini, maka sampailah kita kepada "kalbu agama"
yang disebut dengan Samudera Tauhid. Sungguh, sangat nikmat dan elok
melihat keagungan dan keindahan ciptaan Allah. Dan dengan inilah maka
Allah dapat dibuktikan bahwa Dia ada dengan ketiadaannya (wujuduhu
ka’adamihi).
Wallahu a’lam bisshowwab.
Secercah binar ramadhan 1436 H. yang ke 23/ 9 juli 2015.
Arjuna Rest n Assiry Gallery.
Respon Cepat