Assiry gombal mukiyo, 01 Agustus 2015
Dalam teori suggestopedia disebutkan bahwa tanpa penghormatan seorang
murid (orang yang butuh Ilmu) terhadap Ustaz / guru, maka informasi yang
berkaitan dengan ilmu yang disampaikan seseorang tidak akan bersifat
permanen. Inilah yang menjadi akar dari mubadzirnya ilmu yang luber sia
-sia atau tidak memberi manfaat.
Menyimak esensi dari teori ini,
kita bisa menyimpulkan bahwa menghormati guru-guru bukanlah kepentingan
dan kebutuhan mereka tapi kebutuhan kita sendiri karena dari gurulah
kita menemukan kepada jalan cahaya ( annur), karena ilmu adalah cahaya
(il ilmu nurun ) yang menerangi kegelapan ( kebodohan) .
Tidak bisa
dipungkiri juga ada beberapa alumni pesantren yang ilmunya tidak
bermanfaat dan tidak berkembang hanya monoton dan jalan ditempat,
barangkali prestasi dan aura dzauq dari ilmu itu luntur. Hal ini sangat
bisa jadi dikarenakan mereka kurang ta'dzim pada pengasuh atau
ustadz-ustadzahnya atau yang sering terjadi adalah tidak meminta
ijin/ridho guru ketika akan menjalankan atas hal -hal yang berkenaan
dengan keilmuan yang sudah diberikan oleh guru tersebut.
Umumnya,
pendidikan di pesantren yang dikedepankan adalah masalah akhlaq.
Sehingga sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Imam Suprayogo bahwa
ukuran keberhasilan pendidikan pesantren bukan sebagaimana pendidikan
diluar pesantren yang berupa nilai yang tinggi, dan prestasi akademik.
Ukuran yang bisa digunakan sebagai barometer keberhasilan dipesantren
adalah kepatuhan, ketawadhu'an, dan keikhlasan beramal. Jika dicermati
ukuran-ukuran tersebut lebih didominasi masalah penataan hati dan hal
itu perlu proses latihan yang kontinyu.
Satu lagi hal yang sangat
penting yang menjadi faktor kemanfaatan serta keberkahan ilmu para
santri yaitu doa dari para masyikh atau para kyai bu nyai, ustadz dan
ustadzahnya. Mereka rela mengurangi jatah tidur dimalam hari dan
berpuasa disiang hari untuk mentirakati dan mendoakan para santrinya.
Beberapa Guru dan Kiyai zaman dulu bahkan ada yang puasa 3 tahun untuk
mentirakati santri -santrinya, puasa 3 tahun untuk masyarakatnya dan
puasa 3 tahun lagi untuk anak-anaknya. Hal ini lah yang mungkin perlu
ditingkatkan dilingkungan pendidikan di luar pesantren.
Seharusnya umat Islam itu memiliki peluang yang sangat besar untuk
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu memimpin
peradaban dunia. Apalagi semua ilmu pengetahuan jelas sudah tertera di
dalam Al Quran. Nah dari dasar inilah kita kudu terus mengejar keilmuan
apapun bukan hanya ilmu agama tapi juga ilmu-ilmu yang berkaitan
teknologi harus seimbang.
Ranah pendidikan yang dikembangkan di
luar pesantren biasa kita sebut dengan kognitif ( pengetahuan ), psikomotorik ( keterampilan ), dan afektif ( sikap ).
Pada
prakteknya dibanyak sekolah, wilayah kognitif dan psikomotoriklah yang
banyak ditekankan. Jika hal ini dibiarkan terus berkepanjangan, maka
pendidikan akan kehilangan ruhnya. Karena jiwa pendidikan adalah
perubahan perilaku dari yang belum atau tidak baik menjadi lebih baik.
Jika ilmu dan keterampilan didapat namun akhlaq tidak disuburkan maka
pendidikan akan menuju kepada kehancuran.
Mengutip pendapat dari
Imam Al Ghazali mengenai keutamaan akhlaq dan ilmu. Beliau mengatakan
bahwa ibarat masakan soup, ilmu itu bagaikan garam, sedangkan akhlaq
seperti kuahnya. Harus lebih banyak kuah dibanding garam, jika
sebaliknya, maka soup itu tidak akan bisa dikonsumsi alias muspro tanpo
guno ( red: mubadzir).
Sudah kita ketahui bahwa "pesantren"
adalah sistem pendidikan asli Indonesia yang luar biasa. Sistem
pendidikan terbaik yang bahkan Oxford dan Cambridge pun menirunya.
Sayang, di negeri sendiri, pesantren malah dimarginalkan. Terkadang saya
susah untuk mengerti.
Sudah saatnya kita sadar dan bangga dengan milik kita sendiri, bangga mewarisi kearifan para leluhur kita.
Meskipun saya belum pernah kesana, tapi kita bisa melihat diberbagai
berita online tentang kampus tersebut yang memilki komplek dua kampus.
Sampean akan menemukan kumpulan college-college yang tak ubahnya
asrama-asrama di pesantren. Di setiap college, terdapat sebuah gereja,
lecture hall, dining room, dan asrama yang diketuai seorang profesor
yang paling berpengaruh di college tersebut. Yang tak jauh bedanya
dengan asrama santri dengan masjid, tempat mengaji, pemondokan, kantin
yang diasuh oleh kyai. Tak hanya penampakan fisik, sistem pendidikanya
pun tak ubah sistem sorogan dan bandongan di pesantren.
Dari
bilik-bilik sederhana di pesantren itulah, kita memukan nilai-nilai
kebajikan hidup yang terus jadi pegangan hidup hingga saat ini. Dari
wajah-wajah yang sejuk dipandang dari para kiai itulah, kita temukan
kembali inspirasi hidup bak lentera yang tak pernah padam di dalam
jiwa. Dari do’a-do’a tulus para ustad, ustadzah, pak yai, dan bu nyai
itulah, kita merasakan keberkahan hidup hingga saat ini. Dari itulah
dengan menghormati mereka sama halny kita menjunjung ilmu kita menjadi
lebih tinggi nilai dan derajatnya bagi kemanfaatan dan keberkahan ilmu
yang kita reguk.
Di jaman ketika semua ada label harganya. Di
jaman ketika rupa dan angka dipuja. Miris rasanya, merenungi sekolah dan
universitas tak ubahnya seperti pabrik-pabrik yang memproduksi produk
masal. Mencetak manusia-manusia setengah robot yang nyaris kehilangan
sisi-sisi kemanusianya, yang nyaris mati sisi-sisi spiritual nya.
Manusia-manusia yang dituntut seragam kompetensinya, dan sesuai standard
kebutuhan industri-industri pengeruk keuntungan materialistis.
Manusia-manusia yang pada akhirnya menuhankan makhluk bernama Uang.
Respon Cepat