Selama ini nampak bahwa peran sekolah — disadari atau tidak — juga melegitimasi dominasi elit sosial, bahkan sekolah
merupakan bagian dari kpentingan masyarakat untuk mempertahankan
struktur sosial, stratifikasi sosial, dan melayani kelas sosial
tertentu. Ini artinya sekolah merupakan salah satu bagian dari supra
struktur masyarakat. Karenanya dapat dipahami jika kelompok masyarakat
miskin adalah pihak yang paling susah mengikuti irama pendidikan. Meski
penelitian di Amerika menunjukkan bahwa rata-rata IQ bayi berumur kurang
dari dua tahun tidak ada perbedaan yang signifikan, baik antara orang
kaya dan orang miskin.
Namun
ketika proses membesarkan anak mulai berjalan, kekurangan gizi maupun
sarana pendidikan, menjadikan anak dari golongan miskin makin jauh
tertinggal. Orang kaya sanggup “menghadirkan” sekolah di rumahnya.
Dipanggillah guru les piano, les bahasa Inggris, les komputer, les
kaligrafi, les melukis ataupun membeli perlengkapan sekolah seperti
buku, internet, atau jaringan komunikasi lainnya.
Umumnya
anak-anak orang miskin bersekolah di lingkungan yang kumuh,
terbelakang, dan akrab dengan kekerasan. Lingkungan yang tidak ramah,
maupun karena rasa percaya diri (self confidence) yang rendah menjadikan
anak miskin cenderung agresif, mudah terprovokasi, mudah tersinggung,
apalagi jika dirangsang oleh tantangan di luar yang tidak adil.
Fenomena
tersebut sangat bertentangan dengan teori dan gagasan tentang
pendidikan multikultural. Kalau anak bersekolah sudah dikotak-kotak oleh
batasan etnis, agama, kebudayaan, strata sosial, dan sebagainya, maka
akan terjadi “pembutaan” mata batin dan wawasan pengetahuannya. Anak
dikhawatirkan menjadi konservatif, fanatis sempit, dan mudah
terprovokasi dalam konflik Padahal menurut Islam, pendidikan harus
dimulai dari “muradan” berkehendak untuk iqro’ (alimul ghoib) dan
berfikir, kemudian dilalui dengan “tarbiyah” kepengasuhan yang rahman
dan rahim, untuk menumbuhkan manusia yang siap berjihad sosial (bekerja
keras) agar fungsi kekhalifahannya maksimal.
Sayang,
yang muncul adalah pendidikan transaksional yang berorientasi laba dan
mencari keuntungan. Wajar bagi kaum muslimin yang berpendidikan kemudian
tidak memiliki kemampuan jihad sosial. Pelampiasannya adalah
menyombongkan diri dan merendahkan yang lain.
Yang terjadi adalah
persaingan yang membabi buta, yang penting bisa kerja asal "nyogok" atau
menyuap dan terjadi banyak ketimpangan-ketimpangan yang semakin
memprihatinkan baik tawuran dan tindak kekerasan.
Respon Cepat