Assiry gombal mukiyo, 10 September 2016
Kita sebetulnya nggak punya resistensi moral, resistensi budaya. Saya
tidak marah dan menghina Gatot Brajamusti yang sangat telaten dan begitu
rajin mengumpulkan puluhan celana dalam artis -artis ngetop bangsa ini.
Yang kemudian disimpan didalam brangkas miliknya dan "melakukan itu"
dengan dalih pengobatan spiritual dan mengusir jin. Sehingga untuk bisa
memuasi kengacengannya itu dia melakukan berbagai upaya sehingga setiap
artis dan entah siapa saja yang bisa dijadikan daging pemuas libidonya.
Itu juga baru persepsi dari yang kontra terhadap Gatot, karena belum
dibuktikan secara hukum entah benar apa tidak. Wallahu a'lam.
Akhirnya dengan hanya melihat pada bukti -bukti itu kita secara
berjamaah dan beramai -ramai ikut -ikutan menghujat dan menghakimi atas
perilakunya tersebut. Saya justru berguru banyak hal dari apa yang
menimpanya saat ini.
Bukan hanya saya yang bisa mengambil sisi
positif dari kejadian ini tetapi juga anda. Bahwa siapapun bisa memilki
kesalahan dan kekhilafan apapun itu. Bahkan setiap orang "mungkin"
memiliki kecenderungan dan juga melakukan hal yang sama, cuma terkadang
berbeda jenisnya, tidak sama caranya dan mungkin juga berbeda modusnya.
Jangan terlalu berbangga diri karena kapanpun sajaTuhan bisa berkehendak
membuka aib -aib kita bisa jadi mungkin kebih dari itu. Sehingga tidak
layak kita menjadikan alat bantu seks yang dikoleksi Gatot Brajamusti
atau puluhan celana dalam yang disimpannya itu sebagai lelucon dan bahan
bercandaan.
Jujur saja jika memang iya Gatot berperilaku Seks
menyimpang, dan kebetulan anda diposisi Gatot sebelum dijadikan
tersangka pasti anda sangat senang, Saya bahkan ainul yaqin bahkan jika
anda diposisi Gatot kemudian banyak dikerubuti Wanita dan Artis cantik
ko pura -pura ngga ngaceng, pura- pura alim rasa-rasanya anda termasuk
golongan "minaddhobollin wal kadalin".
bahkan ada jutaan orang yang
terlihat teriak -teriak anti Gatot, mengumpat dan mencelanya tetapi
dalam hati berkecamuk protes itu "kenapa ko selalu orang lain, kenapa ko
Gatot yang bisa meniduri puluhan artis dan gadis-gadis yang semlohay
itu, kenapa bukan saya?" Jadi protesnya mereka bukan soal urusan moral
seseorang tetapi ternyata karena dia belum pernah dapat kesempatan yang
serupa.
Saya ingin Anda keluar dari ruangan mindset berfikir
ini, sehingga bisa mengerti persis apa masalah yang dihadapi Gatot
sehingga ia menjadi pribadi yang selalu rindu dengan selangkangan
perempuan dan narkoba. "Apakah karena dia memilki kelainan seksual ? Apa
karena sejak kecil dia ngga pernah netek ibunya sehingga ketika dewasa
dia memilki hobby netek?"
Tolong ini bukan wewenang saya untuk
menjawabnya. Saya sedih sekali karena saya cuma bisa menulis dan
ngomong. Saya sebenarnya nggak suka ngomong seperti ini. Karena
keselamatan manusia terletak pada lidahnya. Terus bagaimana, saya tiap
hari dipaksa ngomong oleh keadaan oleh kondisi hidup bangsa ini yang
semakin carut-marut dan terus tiap hari saya harus menjaga
habis-habisan.
"Iya tapi itu kan Ustaz, Kiyai, tokoh panutan, Guru Spiritualnya para Artis kenapa secabul itu"
Kalau ada orang rajin shalat, rajin ke Masjid, rajin Qiyamul lail itu
belum output. Dia masih input. Belum tentu orang rajin shalat output
sosialnya atau kepemimpinannya lebih bagus dari yang tidak shalat,
karena shalat itu levelnya fikih, hukum, bukan moral.
Saya tidak
patuh hukum meskipun saya pasca sarjana dibidang hukum, minimal ngerti
sedikit tentang hukum. Tetapi kalau saya tidak mencuri, itu bukan saya
patuh hukum, tapi karena saya punya nurani dan akal sehat. Masak untuk
tidak mencuri saja saya harus nunggu ada pasal? Tanpa ada hukuman, saya
tidak akan melakukan keburukan, karena yang menjadi supremasi dalam
hidup saya bukan hukum melainkan nurani dan akal sehat saya sebagai
manusia.
Dan memang harus begitu. Kita bisa menuntut atau dituntut
sebelum ada pasalnya karena probabilitas perilaku manusia itu tidak bisa
dibatasi. Dari 32 bidak catur saja ada 114 juta probabilitas langkah.
Dengan manusia model Indonesia yang jumlahnya segini banyak, ada berapa
probabilitas kesalahannya?
Mbok masyarakat punya otoritas
sendiri, nggak usah semua diserahkan kepada Hukum. Kalau dicap sesat,
lha gimana, setiap orang punya kesesatannya masing-masing kok. Setiap
orang bisa sesat sekarang, nanti tidak. Sesat itu dinamis, jangan
jadikan dia identitas. Anda jangan percaya saya Muslim. Kalau saya cuma
ngaku-ngaku gimana? Bagaimana parameternya? Apalagi kemudian anda
menuduh Gatot sesat misalnya. Wong sesama sesat ko saling menyesatkan.
Nabi Muhammad sendiri belum pernah menyesatkan orang lain ketika saya
membaca dalam literatur sejarah apapun. Kita baru kelas kiyai ecek -ecek
dan Ustaz dadakan saja sudah berani menuding-nuding orang lain sesat
hanya karena tidak sefaham dengan kita.
Maka sholeh atau patuh
pada agama jangan dicari kriterianya. Entah Ia misalnya sebagai Ustaz ,
Kiyai, atau karena rajin jumatan, rajin shalat 5 waktu, sering umrah,
suka sekali menciumi hajar aswad sampai lemot, sujudnya sampai gosong
jidatnya. Itu bukan output, itu hanya input belaka, itu pantasnya
diletakkan di pawon (dapur). Kalau memamerkan lukisan kaligrafi kan
tidak di tempat dapur produksinya yang berantakan, tapi di etalase atau
Gallery.
Sekarang orang terbalik-balik, yang dipamerkan justru dapur
tempat produksinya. Padahal dapur produksi itu urusan pribadimu. Agama
itu urusan dapur, bukan di etalase. Sekarang malah kebablasan sampai ke
papan nama segala.
Kita tidak peduli apakah dapur itu Islam,
Kristen, Buddha, atau apa pun, nggak masalah. Apakah wajannya merk
Syi’ah, sutil-nya merk Ahlusunnah, kompornya merk FPI merk Gereja
Bethani, nggak masalah itu semua.Yang penting, perilaku sosialnya baik.
Ko tiba -tiba kita yang masih harus banyak belajar tentang bagaimana
menahan ngaceng, menahan diri dari setiap gejolak nafsu apapun itu,
berani -beraninya dan bahkan lantang menuding Gatot adalah "Pria
penggila Isi Celana Dalam". Sedangkan diam -diam kita juga merindukan
dan sangat ambisius bercita-cita yang tidak jauh berbeda ketika
mendapatkan kesempatan yang sama. Sedangkan petinju yang empat bulan
sekali bertanding sekadar sepuluh ronde saja perlu tiga bulan berlatih.
Apalagi kita yang harus bertanding melawan hawa nafsu seumur hidup, ko
tidak belajar dari segala peristiwa untuk dijadikan sebagai bahan
renungan dan pelajaran hidup agar lebih baik.
Maka alhamdulillah
Tuhan memberi peluang kepada kita semua dengan menganugerahi umur dan
kesehatan juga kelapangan dan juga diberikan kesempatan untuk
memperbarui kesadaran sikap dan kekuatan kita agar menjadi pribadi yang
lebih baik dan tidak menjadi pribadi yang gemar menuding, menggunjing
dan menghakimi siapapun.
So, fokuslah kepada aib dan kelemahan diri
sendiri, karena di hari nanti yang ditanya dan dimintai
pertanggungjawaban bukan borok orang lain yang kita ketahui, melainkan
borok dan aib diri sendiri yang bisa jadi tidak kita ketahui lantaran
sibuk "nguber" dan "ngorek- ngorek" aib orang lain.
Respon Cepat