Kenyataan Indonesia bangsa majemuk adalah fitrah yang harus disyukuri.
Kekayaan budaya, agama, suku, bahasa dan lainnya merupakan bukti bahwa
manusia memiliki keanekaragaman dan memang harus hidup dalam
kemajemukan. Sayangnya, kondisi ini oleh sebagian kelompok dianggap
sebagai ‘ancaman’, padahal tidak demikian. Nyatanya, Rasulullah hidup
dalam kemajemukan di Madinah, namun dapat membangun kehidupan harmonis
antar suku dan agama yang dituangkan dalam Piagam Madinah. Piagam
Madinah merupakan bentuk komitmen bersama untuk saling menghargai
kemajemukan.
Dari empat puluh tujuh point isi Piagam Madinah,
Schacht menggarisbawahi ada enam asas yang diteguhkan oleh Rasulullah:
asas kebebasan beragama, asas persamaan, asas kebersamaan, asas
keadilan, asas perdamaian dan asas musyawarah. Enam asas itu kalau kita
cermati hampir mirip dengan isi Pancasila. Sehingga, dasar hidup
berbangsa dan bernegara dengan merujuk pada Piagam Madinah, bagi bangsa
Indonesia sama dengan Pancasila. Baik masyarakat Madinah dan Indonesia,
ingin meniru jejak Nabi Muhammad dalam meneguhkan nalar kebangsaan:
guyub rukun dan damai.
Namun demikian, falsafah kebangsaan ini
sedang diuji atau bisa jadi mulai luntur dan dilupakan. Betapa tidak,
sikap dan perilaku para elit termasuk masyarakat tidak tampak rukun,
ribut dalam perbedaan. sikap tasamuh umat, toleransi, penghormatan
terhadap keberagaman dan perbedaan mendapatkan gugatan dari
kelompok-kelompok tertentu yang agresif. Awalnya, bisa jadi kelompok ini
muncul karena dipicu oleh tidak mampu tegaknya sila kelima. Mulai dari
korupsi, kesenjangan ekonomi, kemiskinan, penggusuran, prostitusi,
narkoba, perjudian, dan berbagai hal yang kemudian dinisbatkan sebagai
kemaksiatan, dengan tafsir tekstual yang kaku lalu melakukan jalan nahi
mungkar menurut persektifnya.
Bersamaan dengan itu, gerakan
transnasional ikut masuk memanaskan suasana dengan agenda politik pihak
tertentu yang mengancam persatuan bangsa. Mempolitisasir isu-isu panas
bernuansa SARA yang rentan memicu konflik antargolongan. Kemudian
dibawahnya, tanpa bekal mampu menjadi bagian dari solusi, masing-masing
malah bertambah menjadi bagian dari masalah dengan ikut
menggelindingkan domino bola liar isu-isu tersebut.
Bahkan,
utamanya di internal umat Islam, upaya labelisasi status kepada sesama
pemeluk agama Islam juga telah mewabah. Fenomena ini tentu saja
mengindikasikan bahwa persaudaraan diantara umat Islam semakin rendah
dan hal-hal yang bersifat furu’iyah lebih diutamakan ketimbang hal-hal
yang bersifat ushuliyah. Alhasil, hanya karena terjadi perbedaan dalam
pandangan keagamaan yang bersifat furu’iyah, satu kelompok dengan
mudahnya menghakimi kelompok lainnya dengan label salah. Atau bahkan,
pelabelan terhadap status ini bukan didasari oleh hal-hal yang bersifat
keagamaan, namun juga karena perbedaan pandangan politik semata.
Kenyataan ini tidak bisa dipungkiri dan terus terjadi seiring dengan
tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok radikal di Indonesia.
Lalu, Jika dengan se-agama saja berani mengkafirkan dan menyerang, maka
bagaimana dengan sikap kepada yang beda agama? Fenomena semacam ini,
secara sadar maupun tidak telah menodai komitmen para pendiri bangsa
yang telah disatukan dalam Pancasila sebagai landasan ideologi.
Parahnya, kelompok-kelompok ini selalu mengatasnamakan agama untuk
memayungi kepentingan politiknya, sehingga tidak sedikit masyarakat yang
terjebak dalam isu-isu yang selalu membawa-bawa nama agama. Artinya,
masih banyak masyarakat yang belum sadar bahwa “baju agama” yang dipakai
adalah kamuflase dari kepentingan politik yang diusung.
Di
bawah politisasi agama tidak hanya mengancam kebebasan individu atau
kelompok agama yang berbeda, melainkan juga sesama penganut agama itu
sendiri. Menyodorkan contoh-contoh dari pelaksanaan keagamaan seperti
Timur Tengah yang sesungguhnya gagal mengelola keberagaman sehingga
mengalami berbagai gejolak dan konflik-konflik dengan kekerasan yang
berlarut-larut. Dalam dua dekade terakhir, dunia mencatat beberapa
landmark dari aksi-aksi kekerasan dan pembungkaman kebebasan beragama.
Terjepit di antara kekerasan negara, kekerasan pasar, dan kekerasan
kelompok keagamaan, membuat watak sejati manusia beragama kehilangan
ekspresinya.
Dalam bayangan murung seperti itu, Indonesia banyak
dipuji dunia sebagai komunitas Muslim yang paling menjanjikan. Dalam
belasan tahun terakhir, represi negara terhadap kebebasan sipil dan
politik berkurang secara drastis. Namun ancaman baru muncul berupa
kekerasan dan fanatisisme kelompok-kelompok "sipil" (yang sebenarnya
uncivil).
Di sini terbukti, masyarakat sipil tidaklah homogen
seperti yang dibayangkan. Melainkan menjadi pertarungan di antara
kelompok-kelompok ideologis yang berlawanan. Jika kata civil society itu
merujuk pada istilah "societas civilis" yang menjunjung tinggi
keadaban, maka benarlah pandangan para pemikir pencerahan bahwa kata
civil society tidaklah diperhadapkan dengan "negara", melainkan dengan
"fanatisisme".
Fanatisme, yang lahir dari ketidakpercayaan diri
untuk menghadapi perbedaan pikiran, merendahkan kemuliaan bani Adam.
Kebebasan berekspresi merupakan unsur konstitutif kemuliaan itu.
Al-Qur’an menyatakan bahwa martabat dan hak asasi manusia harus
dijunjung tinggi: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak adam"
(QS. 17: 70). Dengan begitu, menjaga martabat manusia lebih penting dari
semua hambatan rasial, sosial, atau religius yang mengotak-ngotakkan
kemanusiaan.
Syariat menjamin kebebasan ekspresi selama itu tidak
meluncurkan fitnah, penistaan, penghinaan, dan kebohongan (manipulasi
dan distorsi informasi) serta tidak membangkitkan kemerosotan moral
(keadaban publik), korupsi, dan permusuhan. "Dan janganlah kalian memaki
sesembahan yg mereka sembah ..." (QS. 6: 108).
Kata Nabi : “...
Bersatu dalam satu jama’ah adalah rahmat. Sedangkan perpecahan adalah
azab”. Jadi, mari rabuk kembali harmoni keragaman dengan toleransi.
Tidak ada Negara mayoritas muslim yang bebas melakukan praktik keagamaan
sebaik Indonesia, HTI bebas berteriak, NU, Muhammadiyah, dan semua
berdampingan. Jangan beri kesempatan sekecil apapun perpecahan, sehingga
menambah 'daftar': Afganistan, Irak, Syiria, Mesir. Energinya habis
untuk melawan bangsa sendiri; terorisme, radikalisme, fanatisme dan
perang saudara.
Kaidah fiqih, dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil masalih (menghindari kerusakan didahulukan daripada melakukan kebaikan).
'Ala kulli hal.. Saatnya kembali menghormati perbedaan!
Redaksi - ALK
Tajug Syahadat
Acara Ngopi Budaya:
Arjuna Resto Malam minggu, 4 Maret 2017.
Respon Cepat