Selamat Datang di assiry.kaligrafi-masjid.com , kami ahlinya membuat kaligrafi masjid dan karya seni rupa yang lain, silakan anda lihat karya-karya kami, besar harapan bisa bekerja sama dengan anda.

assiry.kaligrafi-masjid.comadalah buah karya dari Muhammad Assiry Jasiri, seorang seniman dari kota Kudus. Sejak kecil, ia sudah terlihat bakatnya dalam bidang seni. Bakat tersebut semakin terasah seiring bertumbuh remaja di bawah bimbingan para guru kaligrafi ternama di Kudus. Kemudian ia hijrah ke Jakarta dan belajar ilmu seni rupa kepada kakak kandungnya, Rosidi. Kini, segudang prestasi kaligrafi telah ia raih baik di tingkat Nasional maupun di Asia tenggara (ASEAN). Sudah begitu banyak pula masjid/musholla, gedung, maupun kediaman pribadi yang sudah tersentuh goresan tangannya.

Melalui gubug online ini, kami berharap bisa memberi inspirasi anda dan dengan senang hati kami siap melayani semua kebutuhan akan seni rupa dan kaligrafi, desain artistik, serta beragam produk kerajinan khas Indonesia dengan desain eksklusif.

Lemahnya Konsep Pendidikan

Assiry gombal mukiyo, 19 Oktober 2014


Silahkan kalau anda mau mengurut dada masing -masing. Saya tidak menyarankan bagi ibu-ibu, embak -embak untuk melakukan hal itu dalam konteks terhadap sesuatu yang jorok, tapi lakukanlah karena lebih kepada keprihatinan kita yang mendalam.


Lihatlah anak -anak kita yang masih di bangku sekolah sudah berani booking hotel untuk menyalurkan hasratnya yang tidak tertahan lagi. Hotel semakin rame dan menjamur untuk menyediakan seks instan. Tawuran anak 2 sekolah sudah banyak memakan korban nyawa 2 yang melayang sia -sia, bahkan DPR kita yang mustinya menjadi wakil rakyat justru membuat kita jengkel dan sering tawuran kepentingan, tawuran membuat Undang -undang yang tujuannya adalah untuk sebaik -baiknya bagi kesejahteraan perut dan kelompoknya sendiri. Para Ustaz ataupun tokoh masyakat perang dalil. Mereka tidak lagi menjadi pengayom untuk ummatnya agar tetap rukun dan akur. Yang terjadi justru malah centang perenang (mbingungke ndes) dengan dalil ini dan itu, haram ini dan itu, bidah ini dan itu, anu ini dan anu itu.

Bisa jadi salah satu kemungkinan jawaban kenapa situasi demoralisasi bangsa kita sedemikian parahnya.
Hal itu karena faktor-faktor yang terpenting dalam kehidupan manusia itu memang tidak ada sekolahnya. Nggak ada kelasnya. Ngga ada ruang kuliahnya. Nggak ada kurikulumnya. Misalnya, berumah tangga. Nggak ada fakultas rumah tangga. Tidak ada jurusan perkawinan atau pernikahan. Ya dianggap lumrah saja jika jumlah perceraian dewasa ini semakin marak. Ini terjadi juga karena mudahnya pelayanan untuk gugatan perceraian. Perempuan lebih mudah mengajukan gugat cerai (rafa') asal cukup membayar beberapa ratus ribu, semua dijamin mulus tanpa hambatan. Hakim pengadilan pun hanya mengandalkan bukti lisan dan tulisan dari penggugat dan kadang cenderung mengesampingkan kebenaran dan keadilan bagi pihak yang digugat. Hanya karena pihak lelaki yang digugat tidak hadir dalam persidangan misalnya, lantas pengadilan sewenang 2 memutuskan untuk mengabulkan tuntutan penggugat.

Padahal bukti 2 tersebut sangat subyektif dan rentan dengan kebohongan. Hakim kemudian memutuskan sebuah pernikahan apakah layak untuk dilanjutkan perjalanan bahtera rumah tangga si penggugat dan yang tergugat atau cukup sampai disini saja alias cerai, Ini kan tolol. Singkatnya.....Pengadilan agama justru menjadi biang kerok merebaknya kasus 2 perceraian.

Nenek moyang kita dulu tidak butuh pengadilan agama untuk menjalani keberlangsungan dalam rumah tangganya. Mereka bisa mnyelesaikan setiap perselisihan rumh tangga mereka sendiri dengan ma'ruf tanpa memerlukan institusi semacam pengadilan agama.

Tidak akan pernah ada di Indonesia sepertinya sekolah jurusan pernikahan padahal setiap orang tentu ingin berumah tangga, Yang ada hanya pendidikan seks. Itupun tidak ada urusannya dengan masalah psikologis dan rohaniah. Apalagi dengan syariat atau akhlak. Jadi rumah tangga nggak ada sekolahannya. Kebaikan tidak ada sekolahannya. Padahal setiap orang di perlukan untuk baik. Akhlak tidak ada sekolahannya. Padahal apa jadinya dunia ini kalau orang tidak berakhlak.

Lho apakah di kurikulum-kurikulum sekolah, di pelajaran-pelajaran sekolah, guru-guru, dosen-dosen, para professor tidak pernah menyebut-nyebut pentingnya ketentraman rumah tangga, kedewasaan suami istri, kebaikan hidup, atau moralitas. Bukan tidak pernah. Tetapi tidak pernah di posisikan secara primer di sekolahan-sekolahan kita. Kebaikan bukan lagi menjadi sesuatu yang primer. Sungguh ironis dan mnyedihkan.
Anda seorang sarjana, kemudian mengajar di sebuah universitas. Kemudian anda ketahuan mencuri celana dalam mahasiswi di sebuah asrama. Anda hanya mendapat hukuman separo. Yaitu anda mungkin di pecat dari universitas anda. Itupun belum tentu karena soal moral tapi mungkin karena soal malu. Masak universitas punya dosen hobby mencuri CD. Tetapi, dosen dan sarjana yang mencuri CD, tidak akan pernah di copot gelar kesarjanaannya. Anda professor, anda nyolong atau korupsi di kantor, anda tetap profesor. Anda doktor, anda buang kentut sembarangan atau bahkan sangat semangat sekali menebar kentut dimana -mana, anda tetap Doktor meskipun perilaku itu dianggap sinting dan tidak berattitude sama sekali.

Betapa lemahnya, legitimasi nilai dari sekolahan-sekolahan, universitas-universitas yang selama ini kita puja 2 dan kita elu 2kan, agar kita bisa kuliah atau ngampus disana.
Close Menu