Assiry gombal mukiyo, 12 Desember 2014
Persoalan paling mendasar organisasi seperti FPI, HTI dan Wahabi
termasuk MTA dalam alam demokrasi adalah tujuan mereka sendiri untuk
menggulingkan demokrasi. Mereka munafik berlindung dan berkembang di
alam demokrasi dan meminta toleransi sedangkan semangat mereka anti
demokrasi dan anti toleransi. Perlu dicari formula tepat menangani kaum
aneh seperti mereka. Kalau di Eropa batasnya ada dikekerasan, begitu
mereka agitasi kekerasan atau melakukan kekerasan, langsung dibubarkan.
Kalau menurut saya perlu ditambah, kalau tujuan mereka anti demokrasi
dan anti toleransi dan bahkan agitasi kekerasan, perlu segera
dibubarkan.
FPI membesar, dibarengi oleh MMI, HTI, MJI, JAT,dsb
yang perang satu sama lain dan masyarakat terjebak di tengahnya dalam
kondisi semua sendi kehidupan dan budaya lumpuh dan ekonomi hancur
lebur. Diamnya anda atas kekerasan fundamentalisme ala FPI adalah
penghancuran masa depan anak dan cucu anda, kalau sudah terlambat
seperti Pakistan maka barangkali 10 atau 30 th yang akan datang anda pun
akan menginginkan anak cucu anda tidak lahir di Indonesia.
Faktor yang menjadi penyebab utama marak dan berkembangnya hate speech
dan hatred politics di negeri ini di era pasca-Reformasi, yaitu ketidak
mampuan elite politik dan masyarakat untk mengelola konflik kepentingan
sehingga mereka menggunakan segala cara termasuk manipulasi
primordialisme yang berujung pada munculnya hate speech dan hatred
politics tsb. Elit penguasa bukan saja abai, tetapi justru memanfaatkan
gagasan dan gerakan serta organisasi yang menggunakan kebencian atas
nama agama, ras, etnik, dll utuk alat tawar menawar posisi kekuasaan.
Atas nama toleransi, kita berhak mengatakan bahwa intoleransi tidak
bisa ditolerir. Semua gerakan yang menyebarkan intoleransi berarti telah
meletakkan dirinya di luar hukum. Kita harus menganggap bahwa hasutan
ke arah intoleransi dan penindasan sebagai tindak kriminal, sama halnya
dengan menganggap hasutan untuk membunuh, menculik, atau menghidupkan
perdagangan budak, sebagai tindak kriminal. Sikap tegas diperlukan
untuk membendung pikiran dan tindakan intoleran. Kita tidak boleh
membiarakan intoleransi seakan-akan hal itu merupakan hak asasi. Sebab
mengatakan intoleransi sebagai hak, mirip dengan mengatakan perbudakan
juga sebagai hak asasi. Kejahatan tidak bisa dilegitimasi dengan
mendasarkan diri
pada hak asasi...
Melegitimasi kebencian tanpa
disertai sikap tabbayyun hanya akan melahirkan generasi yg sakit.dan
mudah melakukan stempel atas suatu keadaan.Coba kita perhatikan
Kenapa pemikiran liberal justru lebih tumbuh di kampus Islam daripada di
kampus umum? karena semakin anda mempelajari Islam secara jujur dan
menyeluruh, anda akan lebih terbuka dan menyadari bahwa sejarah dan
hukum Islam itu berwarna-warni dan fleksibel. Para mahasiswa
fundamentalis di kampus umum mayoritas adalah para Islam KTP yang baru
tahu Islam waktu di kampus dan berlagak sok Paling Islam. Yang diadopsi
paling pertama oleh mereka pun bukan api peradaban dan filsafat Islam
tapi trivia Islam seperti celana cingkrang, fiqih rendahan, jidat hitam,
jilbab gombrong, kalimat-kalimat arab kosong sok Islam seperti akhi,
ukhti, tausiyah, dhaurah, dll. Jangankan bicara ma'rifat dan hakikat,
bicara syariat dan baca Qur'an pun masih "grotal-gratul".
Yang
perlu diserap dari arab bukanlah budayanya tapi ajaran Islamny,
sehingga sampean ( kamu) tidak perlu kita rubah menjadi kata antum,
saudara menjadi akhi atau ukhty. Betapapun hebatnya budaya mereka toh
lebih hebat budaya kita sendiri yang kaya dengan ragam adat dan
istiadatnya.
Respon Cepat