Assiry gombal Mukiyo, 19 November 2014
Pada tahun 2014 ini, laporan resmi pemerintah menyebutkan 780.000
lulusan diploma dan sarjana berbagai disiplin menjadi pengangguran.
Mereka lulus studi namun gagal mendapatkan pekerjaan. Apa yang salah
sehingga para sarja kita menganggur?
Pendidikan nasional sampai
detik ini masih berorientasi pada konsep kelulusan dengan nilai IPK
(indeks penilaian kumulatif) tinggi. Para lulusan telah ditanam cara
berpikir bahwa belajar yang baik adalah meraih nilai IPK paling tinggi
dan selesai studi cepat.
Nilai IPK tinggi tentu saja tidak salah,
namun itu hanya salah satu persyaratan saja bagi para pembelajar di
lembaga pendidikan. Sayangnya, tidak sedikit para pengajar menuntut para
anak didik meraih nilai IPK tinggi dan selesai cepat saja. Mereka
mengabaikan unsur-unsur penting yang sangat dibutuhkan paska kelulusan.
Unsur-unsur penting tersebut adalah kualitas kepemimpinan, kreativitas
dan keterampilan. Bagi mahasiswa Nilai IPK tinggi itu penting namun
hanya akan bermakna kosong apabila para lulusan tidak memiliki kualitas
kepemimpinan.
Tiga unsur penting tersebut, selain IPK tinggi,
membutuhkan interplay antara pengajar dan peserta didik. Peran pengajar,
baik guru dan dosen, semestinya mampu memfasilitasi para mahasiswa
lulus ber-IPK baik, memiliki kualitas kepemimpinan, kreativitas dan
keterampilan lebih.
Sayangnya, masih banyak pengajar yang tidak
peduli. Mereka hanya menuntut para peserta didiknya bisa menghafal
teori, menyelesaikan tugas kuliah, dan selesai kuliah sesingkatnya.
Sikap tersebut selain dipengaruhi regulasi seperti Permendikbud No 49
yang mengharuskan mahasiswa selesai maksimal 5 tahun, juga kepedulian
yang kurang melimpah.
Para pengajar merasa cukup datang ke ruang
pendidikan, membaca presentasi power point yang harus diingat peserta
didik, dan bahkan tidak menawarkan informasi baru. Ujian semester hanya
berkisar hafalan, penggunaan rumus-rumus, dan menulis sebagaimana apa
yang dikatakan pengajar. Proses ini serupa mesin 'one dimension man'
yang melahirkan manusia-manusia robot, tidak hidup kreatif dan berani
menciptakan kebaruan.
Kondisi ini harus dijawab oleh pemerintah
dengan tidak hanya membanjiri lembaga pendidikan dengan kurikulum. Namun
meningkatkan kualitas metode kepengajaran para pengajar, guru dan
dosen.
Saya sendiri berjuang melawan peluh dengan mendirikan
Pesantren Seni Rupa dan kaligrafi PSKQ dengan konsep intrepreneurship(
kewirausahaan), kemandirian dan mengolah kreatifitas sekaligus menaburi
garam estetika dari berbagai olahan media yang ada.
Harapan saya simple, saya ingin kader -kader alumni PSKQ bukan menjadi
"sampah" yang terbuang di seonggok keterpurukan karena "nganggur".Target
dan tujuannya adalah mereka para alumni bisa menciptakan lapangan
pekerjaan dan membuka lapangan pekerjaan tersebut seluas -luasnya.
Malu dung masak sarjana ko "nganggur". Mustinya Jika saya memiliki
perguruan tinggi cabang PSKQ Modern entah kapan itu, maka Sarjana
-sarjana lulusan Kampus PSKQ Modern tersebut saya pastikan tidak akan
diberikan gelar sarjana jika belum bisa menciptakan lapangan pekerjaan
sendiri sebagai sarat pengganti IPK.
Skripsinya juga bukan
membuat semacam tulisan "Copas" mahasiswa -mahasiswa dari kampus lain
asal tidak ketahuan. Tapi membuat kumpulan karya yang diberikan standar
jaminan kualitasnya
kemudian "dibukukan" dibuat semacam buku pengganti Skripsi.
Sarat
utama untuk menentukan kelulusan dan memberi gelar akademik yang kita
sebut (Mas/Mbak Sarjana) adalah aplikasi ilmunya betul -betul teruji
apa tidak. Soal IPK urusan no 59 karena bisa penting atau tidak, toh
faktanya IPK tinggi ternyata bukan jaminan seorang Mahasiswa sukses
setelah lulus dan menerima mahkota gelar Sarjana.
Respon Cepat